The Latest Collection of News About Banyuwangi
English VersionIndonesian
Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox

Ikatan Persaudaraan TKI Banyuwangi Sangat Erat

Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox
Karyawan Jawa Pos Radar Banyuwangi bersama TKI dan mahasiswa asal Banyuwangi di bandara internasional T2, Kuala Lumpur.

PAGIPAGI sebelum matahari terbit, kami sudah bangun. Setelah jam menunjukkan pukul 07.00 waktu Malaysia, kami bergegas mandi. Over there, matahari baru muncul pukul 07.30, sehingga kami masih bisa menikmati suasana pagi di kota Kuala Lumpur.

Selesai mandi, kami sengaja check out lebih awal dari hotel yang kami tempati selama dua malam. Kami masih penasaran dengan banyaknya mobil dan minimnya sepeda motor. Kami pun meminta M. Chafidc Ali Wafa untuk segera bergabung di sebuah warung kopi milik warga Malaysia.

Kami dan Ali Wafa selanjutnya sarapan di warung tersebut. Sesekali kami mengajak ngobrol Haswati, pemilik warung kopi dengan bahasa Melayu. Logat bicaranya tak jauh dengan film animasi Upin dan Ipin. According to him, berjualan di Malaysia hanya bisa saji jenis penjualan barang.

“Kalau berjualan makanan, maka bisa dengan minumannya, selain itu tidak boleh. Kalau camilan ya itu saja, beda dengan di Indonesia,” kata perempuan yang memiliki keluarga tinggal di Kalibaru itu. Setelah cukup lama berada di warung, o'clock 10.00 kami bergeser untuk melihat permukiman warga asli Malaysia. Kami sengaja diajak masuk ke perkampungan warga.

According to Ali, itu akan bisa menjawab rasa penasaran kami tentang banyaknya mobil dan minimnya sepeda motor. “Nanti akan tahu sendiri,” kata Ali. Begitu sampai di permukiman warga, kami cukup terkejut. It turns out, rumah-rumah warga Malaysia tidak seperti yang kami bayangkan sebelumnya.

House- rumah di sana, tak jauh berbeda dengan rumah-rumah yang ada saat ini. The difference, rumah warga di sana mayoritas lebih kecil dibanding yang ada di Banyuwangi. Rata-rata ukuran rumah di kampung-kampung, hanya berukuran sekitar 8×14 meter atau seperti perumahan yang ada di Banyuwangi.

Not only that, kami juga dikejutkan dengan lingkungan perkampungan warga Malaysia. Beberapa lokasi yang kami datangi di pinggiran kota Kuala Lumpur, ternyata lebih kumuh dari per kampungan warga di Banyuwangi. Padatnya aktivitas warga Malaysia sepertinya membuat mereka tidak rajin menyapu seperti di kampung Banyuwangi.

Kondisi rumah yang serba sederhana itu yang membuat mayoritas keluarga di Malaysia memiliki kendaraan jenis mobil. “Ini yang disebut bahwa mobil adalah rumah kedua bagi warga Malaysia. So, kalau dilihat secara kasat mata mereka memang terlihat lebih kaya. Tapi sebenarnya sama saja. Only, nilai ringgit lebih tinggi dari rupiah," he explained.

Sambil berada di dalam mobil, rasa penasaran kami cukup terobati. Kami terus melanjutkan perjalanan menuju pusat kota Kuala Lumpur.Kami ingin menyaksikan pusat pemerintahan yang ada di Malaysia. Perjalanan dari pinggir kota ke Kuala Lumpur sebenarnya hanya berjarak sekitar 30 Kilometer. Namun waktu per jalanan memakan sekitar 2 jam.

Kami yang cukup lelah menyempatkan diri untuk makan siang di warung tengah kota. Nah, di warung ini kami bertemu dengan beberapa TKI asal Banyuwangi. Begitu mengetahui ada warga Banyuwangi, dua pelayan langsung menghampiri kami dengan menawarkan makanan menggunakan Bahasa Oseng.

“Saya dua tahun belum pulang. Rencananya hari raya Idul Fitri yang akan datang. How, semua sehat,” katanya sambil mencatat pesanan makan siang kami. Di warung tersebut kami juga bertemu dengan sejumlah warga Banyuwangi yang kebetulan juga makan siang.

Obrolan menggunakan Bahasa Oseng kian kental sehingga suasana seperti di Banyuwangi. Setiap ada warga yang akan berpisah meninggalkan warung tersebut, warga yang lebih muda kerap berpesan agar jangan sampai sakit. “Kalau sakit, mau periksa mahal. Daftarnya saja 300 Ringgit. Itu belum bayar obatnya. So, sesama warga Banyuwangi biasa berpesan jaga kesehatan dan jangan sakit,” ujar Khotijah, warga Rogojampi yang menjadi salah satu pelayan di warung tersebut.

Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan melihat gedung-gedung pemerintahan. Over there, kantor-kantor pemerintahan dilokalisasi menjadi satu lokasi dengan sistem pelayanan satu atap. So that, warga yang hendak mengurus surat apapun bisa cepat selesai.

Pemerintahan di Malaysia sebenarnya cukup sederhana. Because, wilayahnya tak seluas di Indonesia. Jika dilihat dari jumlah penduduk, maka luas wilayahnya hanya seperti Jawa Timur saja. Sementara jumlah penduduknya masih sekitar 30 million people.

“Kalau negara dengan negara yang dibandingkan sangat jauh. Malaysia hanya seperti Jawa Timur. It is just, bangunan di tengah kota lebih maju dari yang ada di Indonesia. Jadi jangan membandingkan antara Indonesia yang sangat luas dengan Malaysia yang begitu kecil dilihat dari luas wilayahnya,” ungkap Ali Wafa.

Usai mengelilingi pusat pemerintahan Malaysia, kami segera bergeser ke Bandara Internasional T2 Kuala Lumpur. Over there, kami disambut oleh Irzal Maryanto Ashaby, warga Banyuwangi yang cukup sukses di Malaysia. Di bandara itu, kami juga bertemu dengan sejumlah TKI yang hendak pulang ke Indonesia. Kepada warga yang lebih tua, Kang Yanto pun juga kerap berpesan agar mereka selalu menjaga kesehatan.

“Ini selalu disampaikan sebagai bentuk keeratan keluarga. Lebih-lebih kita sesama warga Banyuwangi sudah menganggap seperti saudara,” he said. Di bandara tersebut, kami selanjutnya berpisah dengan saudara-saudara yang menjadi TKI dan mahasiswa di sana. Kami pun naik pesawat dengan beberapa TKI yang hendak libur kerja. (radar)

Exit mobile version