City tour keliling kota itu biasa. But, city tour blusukan di kampung dalam kota itu baru luar biasa.
SAMSUDIN ADLAWI, Seoul, South Korea.
APA ada kampung tradisional di tengah kota? Exist! Di tengah kota besar lagi. Megapolitan Seoul, South Korea. Kampung itu bernama Bukchon Hanok Village. Kampung Hanok Bukchon. Hanok adalah rumah tradisional. Sedangkan Bukchon berarti kampung utara. "Can, disebut Bukchon karena lokasinya berada di sebelah utara sungai Cheonggye atau Cheonggyecheon dan Jongno,” jelas teman Korsel saya, Yoon Jong-won.
Formerly, perkampungan Bukchon merupakan permukiman khusus. Tempat tinggal para pejabat dan anggota keluarga kerajaan Dinasti Joseon. Karenanya posisinya sangat strategis. Tepat berada di antara Istana Gyeongbok dan Istana Changdeok.
Read Also: Visiting South Korea when Winter is exciting (1). Tak Selamanya Musim Dingin Diguyur Hujan Salju
Kampung Bukchon diperkirakan sudah berusia 600 more years. Sebagian besar hanok atau rumah-rumah tradisional di Bukchon masih berpenghuni. Sebagian yang lain sudah berubah menjadi guest house serta rumah-rumah teh untuk pengunjung yang membutuhkan petualangan ke masa lalu.

Bentuk Hanok di Bukchon (SAMSUDIN ADLAWI)
Ada aturan khusus saat menyusuri kampung Bukchon. Tidak boleh berisik. Agar tidak mengganggu para penghuni hanoknya. ”Makanya, saat keliling di Bukchon tidak boleh ada suara berisik. Takut mengganggu para penghuninya,” kata Jong-won.
So true. Ketika keliling di kawasan perkampungan Bukchon, beberapa kali saya berpapasan dengan wanita paro baya memegang papan pengumuman berukuran kertas manila di beberapa pintu rumah dan sudut gang Bukchon. Kertas itu bertulisan ”Please be Quiet and Considerate!”. Tidak cukup tulisan. Di samping tulisan diimbuhi ilustrasi seseorang sedang menutup bibirnya dengan jari telunjuk. Bagi wisatawan yang kurang mengerti bahasa Inggris, langsung paham apa maksud dari gambar itu.
Read Also: Visiting South Korea when Winter is exciting (2). Snowfall damaged the romanticism of Winter Sonata Nami Island
Sangat bijaksana. Si pembawa pengumuman cukup suportif. Mereka hanya diam membisu. Mulutnya yang dibalut masker tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ketika ada rombongan wisatawan lewat sambil ngobrol dan tertawa dengan suara kencang, mereka langsung menyorongkan pengumuman di tangannya. Begitulah cara orang Korsel ”memaksa” wisatawan takluk pada peraturan yang berlaku di kampung Bukchon.
Lanskap kampung Hanok Bukchon cukup unik. Menyusurinya membutuhkan energi khusus. Because, jalannya naik turun. Dengan lorong-lorong yang sempit.
Source: Java Post Radar Banyuwangi
Page 2
Konon dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menyusuri kampung Bukchon. Cocok bagi mereka yang suka hiking. Saya sendiri menyerah ketika baru separo jalan menjelajah Bukchon. Memilih balik kanan.
Menjelajah kampung Bukchon mengingatkan pada desa adat Penglipuran. Sama dengan Hanok Bukchon yang sudah ada sejak Dinasti Joseon (cikal bakal Korsel), Desa Penglipuran sudah ada sejak zaman Kerajaan Bangli. Sekitar abad 15. Almost 450 last year.
Desa Penglipuran yang berada di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, memiliki arsitektur bangunan dan pengolahan lahan yang unik. Khas Bali. Mengikuti konsep Tri Hita Karana. Filosofi masyarakat Bali mengenai keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, and environment. Penataan fisik dari struktur Desa Adat Penglipuran tidak terlepas dari budaya masyarakatnya. Itu sudah berlaku secara turun temurun.
Read Also: Visiting South Korea when Winter is exciting (3). Beruntung Punya Kesempatan Melihat Langsung Gunung Putih
Selain Penglipuran, saat kaki terus melangkah saya juga teringat Desa Adat Kemiren. Satu-satunya desa adat di Banyuwangi itu terletak di Kecamatan Glagah. Bangunan rumah di Kemiren juga sangat khas. It is just, sebagian rumah-rumah khas Kemiren sudah dimodifikasi menjadi rumah modern. Lately, tepatnya setelah ditetapkan menjadi desa adat, warga Kemiren mulai mengembalikannya ke bentuk rumah aslinya. Yang berupa rumah knock down. Too bad, masih ada sebagian warga setempat yang belum punya kesadaran mengembalikan bentuk rumahnya ke bentuk rumah khas Kemiren. So that, saat melihat bangunan rumah di Kemiren tidak begitu terasa suasana kekhasannya. Terutama rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan masuk desa setempat.
Sebagai solusi, pemerintah desa setempat bersama Dinas Pariwisata Banyuwangi duduk bersama. Bila perlu juga mengajak stakeholder, seperti Dewan Kesenian Blambangan. Rembukan menentukan kawasan Desa Kemiren mana saja yang layak diklaim sebagai Desa Adat. Certain, salah satu dasar pemilihannya didasarkan pada kawasan yang bentuk-bentuk rumahnya masih asli.
koreaRead Also: Visiting South Korea when Winter is exciting (4). Stunned in the largest library in the middle of the mall
Keputusan bersama itu sangat mendesak dilakukan. Agar tidak terus muncul pertanyaan bernada kekecewaan dari wisatawan. Selama ini selalu ada wisatawan yang ”menggugat” dengan pertanyaan, ”Kok, bentuk rumahnya sudah banyak yang modern bangunannya. Kurang terasa suasana rumah tradisionalnya”.
Pertanyaan itu wajar. Wisatawan yang bertanya itu pasti sudah pernah mengunjungi desa-desa wisata di banyak kota dan negara. So, mereka punya benchmark. Punya pembanding. For example, membandingkan Desa Adat Kemiren dengan Desa Adat Penglipuran. Or, even, dengan Hanok Bukchon Village. Desa/Kampung Tradisional yang benar-benar tradisional di Korsel. (Bersambung/c1)
Source: Java Post Radar Banyuwangi
Page 3
City tour keliling kota itu biasa. But, city tour blusukan di kampung dalam kota itu baru luar biasa.
SAMSUDIN ADLAWI, Seoul, South Korea.
APA ada kampung tradisional di tengah kota? Exist! Di tengah kota besar lagi. Megapolitan Seoul, South Korea. Kampung itu bernama Bukchon Hanok Village. Kampung Hanok Bukchon. Hanok adalah rumah tradisional. Sedangkan Bukchon berarti kampung utara. "Can, disebut Bukchon karena lokasinya berada di sebelah utara sungai Cheonggye atau Cheonggyecheon dan Jongno,” jelas teman Korsel saya, Yoon Jong-won.
Formerly, perkampungan Bukchon merupakan permukiman khusus. Tempat tinggal para pejabat dan anggota keluarga kerajaan Dinasti Joseon. Karenanya posisinya sangat strategis. Tepat berada di antara Istana Gyeongbok dan Istana Changdeok.
Read Also: Visiting South Korea when Winter is exciting (1). Tak Selamanya Musim Dingin Diguyur Hujan Salju
Kampung Bukchon diperkirakan sudah berusia 600 more years. Sebagian besar hanok atau rumah-rumah tradisional di Bukchon masih berpenghuni. Sebagian yang lain sudah berubah menjadi guest house serta rumah-rumah teh untuk pengunjung yang membutuhkan petualangan ke masa lalu.

Bentuk Hanok di Bukchon (SAMSUDIN ADLAWI)
Ada aturan khusus saat menyusuri kampung Bukchon. Tidak boleh berisik. Agar tidak mengganggu para penghuni hanoknya. ”Makanya, saat keliling di Bukchon tidak boleh ada suara berisik. Takut mengganggu para penghuninya,” kata Jong-won.
So true. Ketika keliling di kawasan perkampungan Bukchon, beberapa kali saya berpapasan dengan wanita paro baya memegang papan pengumuman berukuran kertas manila di beberapa pintu rumah dan sudut gang Bukchon. Kertas itu bertulisan ”Please be Quiet and Considerate!”. Tidak cukup tulisan. Di samping tulisan diimbuhi ilustrasi seseorang sedang menutup bibirnya dengan jari telunjuk. Bagi wisatawan yang kurang mengerti bahasa Inggris, langsung paham apa maksud dari gambar itu.
Read Also: Visiting South Korea when Winter is exciting (2). Snowfall damaged the romanticism of Winter Sonata Nami Island
Sangat bijaksana. Si pembawa pengumuman cukup suportif. Mereka hanya diam membisu. Mulutnya yang dibalut masker tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ketika ada rombongan wisatawan lewat sambil ngobrol dan tertawa dengan suara kencang, mereka langsung menyorongkan pengumuman di tangannya. Begitulah cara orang Korsel ”memaksa” wisatawan takluk pada peraturan yang berlaku di kampung Bukchon.
Lanskap kampung Hanok Bukchon cukup unik. Menyusurinya membutuhkan energi khusus. Because, jalannya naik turun. Dengan lorong-lorong yang sempit.
Source: Java Post Radar Banyuwangi