KOMPAS.com – Tari Jaranan Buto berasal dari Kabupaten Banyuwangi, East Java.
The uniqueness of Buto's Horseshoe Dance meliputi kostum penari, cerita, dan iringannya yang berbeda dari kesenian jaranan lainnya.
Tari Jaranan Buro tari hiburan yang biasanya dipentaskan dalam acara hajatan, circumcision, and others.
Tari Jaranan Buto
Sejarah Singkat Tari Jaranan Buto
Dalam sejumlah literatur disebutkan Tari Jaranan Buto berawal dari Dusun Cemetuk, Cluring Village, Banyuwangi Regency.
Letak wilayahnya berbatasan dengan daerah Kecamatan Gambiran.
Kondisi wilayah tersebut menyebabkan masyarakat Dusun Cemetuk mendapatkan pengaruh dari Kabudayaan Masyarakat Jawa Mataraman dari daerah Gambiran.
Read too: Apa itu Jathilan, Asal-usul, Gerakan, dan Properti
Masyarakat Gambiran sebagian besar masih mempunyai garis keturunan trah Mataram. Kesenian Jaranan Buto lahir sebagai bentuk alkuturasi budaya yang unik.
Kesenian tersebut memadukan Kebudayaan Osing (budaya suku asli Banyuwangi) dengan Kebudayaan Jawa Mataraman.
Nama Jaranan Buto diambil dengan mengadopsi tokoh legendari Minakjinggo.
Ada anggapan bahwa Minakjinggo adalah orang dengan kepala raksasa yang dalam bahasa Jawa disebut “buto”.
Penggunaan replika kuda dalam kesenian tersebut mengandung makna filosofi sebagai semangat perjuangan, sikap ksatria, dan kerja keras tanpa kenal lelah dalam setiap kondisi.
Properti Tari Jaranan Buto
Tari Jaranan Buto menggunakan properti jaranan buatan, seperti yang digunakan dalam kesenian tradisional Jaran Kepang, Kuda Lumping, atau Tari Jathilan.
Perbedaaannya adalah properti yang digunakan tidak menyerupai bentuk kuda secara nyata. Kuda yang dipakai berwajah raksasa atau buto.
Para pemainnya juga menggunakan tata rias, seperti raksasa yang lengkap dengan muka berwarna merah, taring tajam, mata besar, dan rambut panjang gimbal.
Secara keseluruhan tampilan pemain Jarana Buto menggambarkan raksasa yang kekar dan menyeramkan.
Read too: Asal-usul Jaran Kepang, Tari yang Lekat dengan Masyarakat Agraris