Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Festival Endhog-Endhogan (FEE) 2013

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

duamalamDua Malam Garap Kostum Seberat 7 Kg

Perhelatan FEE memang sudah berlalu. Tapi sisasisa cerita kemeriahan perhelatan tersebut masih jadi perbincangan hingga kemarin. Berikut sekelumit kisah kontingen penyaji terbaik dalam pawai tersebut. FEE 2013 menyuguhkan tontonan spektakuler. Kreativitas peserta yang menghadirkan nuansa Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) benar-benar mengundang decak kagum ri buan penonton. “Benar-benar spek takuler. Tidak hanya hiburan kopong, tapi sarat muatan Islam,” gumam seorang perempuan saat dimintai tanggapan atas karnaval bertajuk FEE yang baru saja dia saksikan Minggu lalu (3/2).

Bukan tanpa alasan, perempuan yang belakangan diketahui berna ma Nichi, 24, asal Kecamatan Ka bat, itu menjelaskan, meskipun tampak megah dengan gemerlap kostum peserta, tapi esensi endhog- endhogan yang notabene tra disi warga Banyuwangi da lam mem peringati kelahiran Rasulullah Mu hammad tetap terjaga de ngan baik Nichi mengatakan, tanpa mengurangi rasa kagum terhadap penampilan seluruh peserta, dia mengaku bahwa salah satu peserta yang paling membuatnya ter perangah adalah barisan peserta (kafilah) nomor urut 7. “Unik.

Barisan itu menampilkan kostum ala BEC. Uniknya lagi, kostum ala BEC itu dimodifikasi dengan me nambahkan telur. Benar-benar kreatif,” kata dia. Benar saja, dengan berbagai pertimbangan, dewan juri akhirnya memutuskan kafilah nomor urut 7 tersebut sebagai penyaji terbaik FEE 2013. Pasalnya, kafilah asal SDN 4 Penganjuran, Banyuwangi, itu dinilai mampu memadukan tiga kriteria penilaian, yakni filosofi , kreativitas, dan keindahan, dengan baik. H. Abdullah Fauzi, salah satu anggota dewan juri mengatakan, kafilah asal sekolah yang juga dikenal dengan sebutan SD Brawijaya itu menyuguhkan sejarah awal munculnya tradisi endhog-endhogan di Banyuwangi.

Lebih jauh Fauzi mengatakan, penampilan kafilah SD Brawijaya paling menonjol di an tara kafilah-kafilah yang lain lantaran berani mengekspresikan kreativitas dengan menampilkan maskot BEC. “Kafi lah tersebut mampu “menangkap” event yang sedang in di Banyuwangi, yakni BEC. Namun demikian, kehadiran maskot BEC itu tetap tidak mengurangi esensi endhog-endhogan,” paparnya. Usut punya usut, penampilan apik kafilah SDN 4 Penganjuran itu ternyata ti dak murni ide pihak sekolah. Sebab, kalangan wali murid juga dilibatkan dalam menyumbangkan ide kreatif. Dua pekan se belum hari “H” FEE, pihak sekolah mengumpulkan wali murid untuk sharing ide. Kepala SDN 4 Penganjuran, Lusiana Sri Hariani, mengakui hal itu.

Dikatakan, penggagas tema yang disajikan dalam FEE ada lah pihak sekolah. “Tetapi, penggagas kreativitas adalah orang tua siswa. Hasilnya se perti yang Anda lihat, benar-benar luar biasa bukan?” kata dia bangga. Lantas, siapa sebenarnya bocah yang berperan menjadi maskot BEC bernuansa endhog-endhogan tersebut. Dia adalah M. Adilla MP. Rasa bangga setelah mendapat aplaus dari Bupati Abdullah Azwar Anas dan sejumlah pejabat lain yang duduk di tenda kehormatan membuat bocah kelas V-D itu tidak menghiraukan rasa lelah.

Padahal, dia menggunakan busana se berat sekitar 7 Kilogram (Kg) dan berjalan menyusuri rute karnaval sejauh 2,5 Kilo meter (Km). Bocah laki-laki yang karib disapa Dilla itu mengaku sangat senang bisa menjadi salah satu performer dalam FEE. Sebab, dia merasa penampilannya bisa menghibur banyak orang. “Apalagi, Pak Bupati sampai memberi tepuk tangan saat rombongan kami melintas di garis start. Hal itu membuat saya tidak merasa lelah sama sekali saat berjalan,” ungkapnya. Dikonfirmasi terpisah, ibunda Dilla, Fifin Natasya Supriyadi mengatakan, memadukan unsur religi FEE dengan BEC yang no tabene fashionable cenderung susah.

Untuk menampilkan nuansa endhog-endhogan, kostum yang dikenakan Dilla ter sebut dipasangi sekitar 500 butir replika te lur. “Memasang replika telur yang terbuat dari plastik tersebut tidak mudah. Telur itu kita tempel dengan lem panas. Karena itu, tidak sedikit replika telur yang pecah,” ujarnya. Kesulitan lain, imbuh Fifi n, dirinya kesulitan mendapatkan telur plastik di Banyuwangi. Dia pun berburu telur plastik ke Jember. “Pakai telur plastik dengan per timbangan agar kostum tidak terlalu berat,” tuturnya. Dijelaskan, karena kostum yang dikenakan Dilla cukup banyak bagian yang terbuka, dia membalut tubuh putra bungsunya itu dengan kain batik khas Banyuwangi.

“Kami se keluarga harus lembur dua hari-dua malam demi mempersiapkan kostum BEC ala FEE tersebut. Tetapi, kerja keras kami itu terbayar dengan antusiasme penonton,” kata Fifin. Fifin menegaskan, prinsipnya dia ingin memberi sentuhan “warna” berbeda dalam FEE 2013 ini. “Kami berharap itu akan menjadi stimulan bagi peserta lain dalam FEE tahun-tahun selanjutnya. Kita harus menampilkan ide dan kreativitas. Dengan catatan, tidak meninggalkan frame endhogendhogan,” pungkasnya. (radar)