WONGSOREJO – Heboh naik haji lewat “jalan tol” Filipina ternyata juga melibatkan dua warga Banyuwangi. Mereka adalah pasangan suami istri (pasutri) Suminggar, 60, dan Aisyah, 55, asal Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo.
Pasutri tersebut diduga menjadi korban penipuan biro pemberangkatan haji. Suminggar dan istrinya ikut biro perjalanan haji yang menggunakan paspor palsu untuk pergi haji melalui Filipina. Beruntung, kedua calon jamaah haji (CJH) ini tidak sampai tertangkap petugas imigrasi Filipina.
Saat hendak diberangkatkan ke Tanah Suci melalui Filipina, petugas imigrasi Filipina lebih dahulu menangkap 177 CJH asal Indonesia yang diketahui menggunakan jatah kuota haji warga Filipina. Kabar itu membuat rombongan pasutri itu membatalkan keberangkatan dan memilih pulang ke Indonesia.
Saat ini pasutri yang berprofesi sebagai petani itu kabarnya sudah dipulangkan kembali ke Indonesia dan dalam perjalanan ke Banyuwangi. Jawa Pos Radar Banyuwangi kemarin mendatangi rumah Suminggar dan Aisyiah di Watukebo.
Sayang, meski pintu rumah dalam keadaan terbuka, tak satu pun ada orang mau memberikan informasi. Mereka terkesan diam karena tidak tahu-menahu tentang kepergian pasutri tersebut ke Filipina. Sekretaris Desa Watukebo, Suyono, menjelaskan pasutri itu berangkat dari Desa Watukebo menuju Jakarta pada 15 Agustus.
Kabarnya mereka langsung terbang ke Filipina pada 16 Agustus. Mereka menginap selama tiga hari di Filipina. Kabar kepergian Suminggar dan istrinya ke Filipina membuat pihak desa curiga. ”Saya sempat curiga, karena saat keberangkatan, Suminggar cerita ke saya dia berangkat ke Filipina dulu untuk urus paspor. Saya tidak bertanya lebih jauh, saya kira mereka hanya transit di Filipina,” jelas Suyono.
Kecurigaan Suyono akhirnya mengerucut saat dia dengar berita bahwa ada 177 CJH Indonesia yang ditangkap petugas imigrasi Filipina akibat paspor palsu. Tahu ada yang tidak beres, Suyono selalu berkomunikasi dengan keluarga pasutri tersebut.
”Setelah dikroscek, alhamdulillah mereka tidak termasuk dalam 177 CJH yang ditangkap. Mereka belum ditangkap karena belum melewati kantor imigrasi Filipina,” terang Suyono. Dia menambahkan, pasutri tersebut saat ini sudah berada di Jakarta. Rencananya hari ini akan diterbangkan ke Surabaya, lalu akan diantar ke Desa Watukebo, Wongsorejo.
”Nanti malam (kemarin) anaknya ke Surabaya untuk jemput Pak Suminggar dan istrinya, Aisyah,” terang Suyono. Informasi yang diperoleh Suyono, keduanya berangkat haji menggunakan biaya senilai Rp 340 juta. Tidak diketahui secara pasti melalui biro perjalanan haji mana pasutri itu terbang ke Filipina.
Saat Jawa Pos Radar Banyuwangi datang ke rumah pasutri, anak tunggal Suminggar dan Aisyah sedang tidak berada di rumah. ”Katanya sebelum berangkat haji pasutri itu sempat menjual tanah seluas 1,5 hektare dengan nilai jual Rp 400 juta. Mereka memang ingin cepat-cepat naik haji,” tambah Suyono.
Dia berharap kejadian itu menjadi pelajaran berharga bagi warga lain, khususnya di Desa Watukebo, agar tidak termakan terbujuk rayu dan iming-iming naik haji dengan cepat. Dia juga berharap biro perjalanan haji yang bersangkutan segera diproses hukum karena sudah mengorbankan orang yang ingin naik haji.
”Warga saya ini korban, karena saya yakin mereka ini tidak tahu apa-apa. Yang mau naik haji sebaiknya berkonsultasi dulu dengan aparat desa,” pungkas Suyono. Dihubungi saat berada di Makkah, Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Banyuwangi, Santoso, mengaku prihatin dengan keberangkatan dua warga Watukebo lewat Filipina itu.
Jika kabar tersebut benar, dia berharap warga Banyuwangi menggali informasi lebih dalam tentang haji pada perangkat desa atau Kantor Urusan agama (KUA) setempat. Masyarakat diimbau jangan mudah tergiur iming-iming naik haji dari Indonesia bisa berangkat cepat. Bagi calon haji juga diharapkan bersabar dan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
”Saya juga berharap biro perjalanan haji yang mengajak mereka diproses secara hukum. Pasutri ini hanya korban. Saya yakin mereka tidak tahu-menahu,” tegas Santoso. (RADAR)