Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Gelar Tiban untuk Minta Hujan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

PURWOHARJO – Tradisi Tiban kembali digelar. Kali ini ritual minta hujan itu dilaksanakan warga di tengah persawahan Dusun Gumukrejo,  Desa/Kecamatan Purwoharjo, kemarin (23/11). Tiban yang akan dilaksanakan  selama 20 hari itu mendapat perhatian warga.

Setiap acara itu di gelar, ratusan warga dari berbagai daerah berdesakan melihat. “Cambuk yang  digunakan terbuat dari lilitan lidi daun aren dan iratan bambu,” cetus  Sunaryo, 47, panitia Tiban.  Menurut Sunaryo, Tiban adalah tradisi peninggalan nenek moyang  sejak dahulu.

Ritual tersebut dilaksanakan  untuk “memanggil” hujan jika musim kemarau telah melebihi  batas. “Sesuai hitungan kalender,  seharusnya sekarang sudah turun  hujan, tapi ini masih panas, lalu  kita gelar Tiban ini,” katanya.

Dalam tradisi Tiban, jika alat  musik tradisional berupa gong, bedug, kempul atau kethuk mulai  ditabuh panitia, pertanda upacara  segera dimulai. Satu per satu warga yang hadir langsung memadati  areal persawahan tempat digelarnya  ritual.

Siapa pun boleh menjadi peta rung Tiban di arena yang disediakan  dengan ukuran 12 meter  kali 12 meter tersebut. Agar tidak panas dan melukai  peserta, arena Tiban di tengah sawah  itu diberi alas berupa limbah gergajian  kayu.

Jika warga yang masuk  arena dengan mengacung acungkan  cambuk sambil menari-nari mengikuti iringan musik, berarti itu menantang siapa saja di sekitar lokasi pertandingan. “Kalau ada peserta yang berani, pertarungan langsung  kita laksanakan,” ujar Istamar, 41,  salah satu wasit.

Sebelum bertarung, terang dia, keduanya terlebih dahulu melepas baju. Dua wasit sebagai pengadil pertandingan akan mengawal pertarungan itu. “Tidak boleh memukul kepala, leher, dan bawah  perut,” jelasnya. Setiap peserta Tiban diberi  kesempatan tiga kali mencambuk  lawan secara berturut turut.

“Yang pakai helm dan cambuk hitam hanya boleh menghalau serangan  saja, dan akan bergantian setelah tiga kali cambukan,” katanya. Untuk menghindari serangan  sabetan cambuk lawan, peserta  Tiban harus lihai membaca arah pergerakan lawan.

Jika belum terbiasa  bisa babak belur, kulit terkelupas,  hingga berdarah, akibat terkena cambukan. “Kita sediakan kapas,  obat merah, dan pertolongan  pertama, agar peserta yang berdarah bisa diobati sendiri,” terangnya.

Ritual yang cukup ekstrem itu ternyata  tidak hanya diikuti kala ngan muda. Kakek-kakek juga ba nyak yang ikut. Salah satunya Misnawi yang sudah berumur 63 tahun. Kakek tiga cucu itu masih cukup lihai memainkan cambuk.

“Pasti sakit  jika kena cambukan, tapi sudah terbiasa. Ini tradisi untuk hiburan,” ujar kakek asal Dusun Cemetuk, Desa/Kecamatan Cluring, itu.  Meski saling serang dan saling ejek saat berlaga, para peserta Tiban  tetap menunjukkan persaudaraan  dan sportivitas yang tinggi.

Terbukti, usai pertarungan, keduanya saling bersalaman dan berangkulan. “Kita hanya melestarikan tradisi. Jadi tidak boleh marah dan emosi, apalagi  sampai dendam dan berlanjut di luar arena,” jelas Gatot Kurniawan, 34, salah satu peserta Tiban asal  Desa/Kecamatan Tegaldlimo.

Tradisi Tiban yang digelar di Dusun Gumukrejo, Desa/Kecamatan Purwoharjo, itu dilaksanakan selama 20 hari. Para peserta itu tidak hanya dari daerah Banyuwangi, juga ada yang datang dari Situbondo, Jember, Tulungagung, Blitar, dan Trenggalek. (radar)