Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Indonesia Dragonfly Society Melakukan Riset Capung di Banyuwangi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

indonesiaTiga Bulan Sudah Temukan 30 Spesies Khas Indonesia Dragonfl y Society  (IDS) merupakan sebuah lembaga yang khusus melakukan riset terhadap capung. Mereka sudah meneliti satwa tersebut di beberapa kota. Rupanya, keanekaragaman capung Banyuwangi membuat mereka berkesan.

LITERATUR mengenai capung sulit ditemukan di Indonesia. Yang mengejutkan, meski literatur itu ada, tapi yang melakukan penelitian bukan warga negara Indonesia. Hal itu yang menyebabkan IDS merasa harus bergerak dan mengambil ini siatif melakukan riset secara manual un tuk mengungkap spesies capung di tanah air. Bagi IDS, melakukan riset terhadap capung bukan perkara mudah. 

Sebab, penelitian itu membutuhkan pengorbanan agar bisa menjumpai hewan tersebut. Yang jelas, hewan tersebut banyak dijumpai di tempat-tempat basah, misalnya di aliran sungai atau di saluran irigasi dan di kawasan yang banyak air. Tapi, nanti dulu. Capung tetap tidak mudah dijumpai. Jika kondisi air tercemar, capung akan sulit ditemukan. Dengan demikian, agar capung tidak punah, maka kelestarian lingkungan harus diperhatikan.

Pengamatan IDS, capung sangat mudah dijumpai di berbagai daerah. Tapi, itu dulu. Kini capung semakin jarang ditemukan. Pasalnya, lingkungan sudah tercemar. Akibatnya, capung semakin langka. Padahal, capung merupakan serangga yang memberikan banyak manfaat, salah satunya kepada para petani. Capung merupakan salah satu predator ulung serangga lain, seperti wereng. Karena itu, capung sangat membantu para petani.  

Namun, kondisi saat ini cukup memprihatinkan. Populasi capung mulai langka. Bah kan, capung sulit ditemukan di area per tanian. Pemicu kelangkaan capung itu ka rena habitat sudah rusak. Tempat capung itu berkembang biak sudah tidak steril. Insektisida menjadi salah satu penyebab po pulasi capung mengikis. Insektisida menyebabkan capung tidak bisa berkembang biak.

Pada saat masih dalam bentuk larva, mereka sudah tewas gara-gara lingkungan tercemar. Diceritakan, setiap kali personel IDS yang di pimpin Wahyu Sigit Rahadi melakukan riset, tidak sedikit masyarakat yang menilai penelitian itu tidak ada manfaatnya. Yang ekstrem, tindakan itu dianggap hanya membuang-buang waktu. Apalagi, selain menyita waktu, riset tersebut juga membutuhkan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. IDS berpedoman, riset itu bertujuan mengungkap spesies capung asli Indonesia. 

Selain itu, penelitian itu juga untuk mengedukasi masyarakat bahwa habitat capung harus dijaga. Jangan sampai di masa yang akan datang capung hanya bisa menjadi cerita karena tidak bisa dijumpai lagi. ‘’Jangan sampai anak cucu kita besok  gak kenal capung. Kalau itu terjadi, kita sangat prihatin,” kata Magdalena Putri Nugrahani, salah satu aktivis IDS.

Setiap kali melakukan riset di sejumlah daerah, IDS selalu membukukan hasil penelitian itu dalam bentuk buku. Sampai saat ini sudah dua buku yang diluncurkan sejak tahun 2011 lalu. Pada tahun 2011, hasil penelitian di Jogjakarta, berjudul Capung Teman Kita. Buku kedua berjudul Naga Terbang Wendit. Buku kedua itu resmi diluncurkan pada tahun 2013 hasil penelitian di Malang.  

Edisi ketiga, IDS memilih Bumi Blambangan sebagai lokasi penelitian. Salah satu alasannya, kabupaten ujung timur Pu lau Jawa ini dinilai memiliki beragam kebudayaan. Bahkan, di Kota Kopi ini pernah beredar lagu tentang capung dengan judul Untring-untring. ‘’Kami kira spesies capung di Banyuwangi lebih banyak dibandingkan dua lokasi lain yang sudah kami teliti itu,” tambah perempuan lulusan S2 jurusan Biologi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta itu.

IDS melakukan riset di sepanjang sungai mulai hulu hingga hilir. Saat ini IDS melakukan riset di sungai Kalongan, Desa Pesucen, Kecamatan Kalipuro. Sejak Januari 2014 lalu, IDS sudah menemukan 30 spesies capung di Banyuwangi. Kemungkinan besar, spesies itu bakal bertambah karena proses riset masih terus berlangsung hingga muara sungai. 

“Sementara ini, capung lebih mudah ditemukan di hulu karena lingkungan masih ter jaga,” papar Lutfian, salah satu personel IDS, dalam perbincangan di Genjah Arum, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Rabu lalu (2/4). Menurut Lutfian, bentuk capung yang indah menjadi daya tarik IDS untuk melakukan penelitian. Meski bentuk setiap capung nyaris tidak ada perbedaan, tapi warna setiap spesies memiliki daya tarik ter sendiri. ‘’Setiap kali mengabadikan capung, kita amati hasilnya dan luar biasa,” terang pria berambut gondrong sarjana biologi alumnus Universitas Negeri Semarang itu. (radar)