Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Ingin Berikan Kado Buku Sejarah ke Pemerintah

KENANGAN: Arif menunjukkan buku sejarah Banyuwangi versi DHC 45 yang dimotori alm. Is Soetrisno.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
KENANGAN: Arif menunjukkan buku sejarah Banyuwangi versi DHC 45 yang dimotori alm. Is Soetrisno.

Salah satu putra terbaik Banyuwangi, Is Soetrisno, 83, telah pergi untuk selamanya. Hingga ajal menjemput, masih ada satu keinginan mantan sekretaris daerah (sekda) Banyuwangi pada dekade 1960-an sampai 1970-an itu yang belum terwujud.

SIGIT HARIYADI, Banyuwangi

SEBAGAI seorang prajurit yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi pertiwi, nasionalisme dalam diri Letkol Infanteri Is Soetrisno tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Jangankan untuk hal-hal penting, rasa cintanya pada bangsa dan negara juga dia tunjukkan pada hal-hal yang terkesan sepele sekali pun. Tidak hanya itu, kontribusinya dalam proses pembangunan di Banyuwangi juga sangat besar. Maklum, semasa hidup, Is Soetris no pernah menjabat sebagai sekda di kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini.

Kini, sosok yang dikenal memiliki kepedulian sosial yang tinggi itu telah tiada. Sejawat, kerabat, bahkan masyarakat umum, tidak sedikit yang merasa sangat kehilangan atas berpulangnya Purnawirawan TNI berpangkat Letkol Infanteri yang juga pernah bertugas sebagai Kepala Seksi Teritorial (Pasiter) Komando Distrik Militer (Kodim) 0825 Banyuwangi itu. Tak heran, ratusan orang rela berpanas-panasan untuk sekadar menghadiri prosesi pemakaman Is Soetrisno di Taman Makam Pahlawan (TMP) Wisma Raga Satria, Banyuwangi, Selasa siang (15/5).

Beberapa pelayat yang ikut mengantarkan jasadnya menuju peristirahatan terakhir mengaku sangat kagum terhadap pria kelahiran Jogjakarta 28 Oktober 1928 tersebut. “Saya masih ingat beliau (Is Soetrisno) pernah menegur rekan saya yang memasang bendera merah putih di posisi agak ke bawah di sepeda miliknya,” ujar Hasnan Singodimayan, seorang budayawan gaek Banyuwangi saat ditemui di selasela prosesi pemakaman.

Hasnan menambahkan, saat menjabat sekda di era Bupati Joko Supa’at Slamet, Is Soetrisno juga mengusulkan pentingnya media lokal sebagai media komunikasi antara pemerintah dan rakyat. “Selain di bidang pembangunan, beliau juga sangat peduli dengan kebudayaan asli Banyuwangi,” ceritanya. Tidak hanya itu, Is Soetrisno juga dikenal sangat dermawan. Tidak jarang dia menggratiskan aula Hotel Ikhtiar Surya miliknya untuk digunakan sebagai ajang kegiatan organisasi kemasyarakatan, keagamaan, dan peringatan hari besar nasional.

“Kami cuma disuruh ngopeni petugas kebersihan dan menyediakan konsumsi sendiri, sedangkan aulanya digratiskan,” ujar seorang yang mengaku pernah “meminjam” aula hotel Ikhtiar Surya untuk keperluan organisasinya. Sementara itu, Arif, salah satu anggota keluarga Is Soetrisno menambahkan, nasionalisme Is Soetrisno memang sangat tinggi. Contoh kecil, pengelola Hotel Ikhtiar Surya selalu diingatkan agar tidak telat apalagi lupa memasang bendera merah putih saat peringatan hari besar kenegaraan.

Arif menceritakan, sebelum meninggal dunia, Is Soetrisno berkeinginan bertemu Bupati Abdullah Azwar Anas untuk memberikan buku sejarah perjuangan Blambangan dan sejarah Blambangan yang dikeluarkan DHC 45 Banyuwangi. Sayang, sebelum keinginan itu terwujud, Is Soetrisno sudah tiada. “Beliau mengatakan ingin menyampaikan buku ini agar pemkab mendapatkan informasi yang benar terkait sejarah Banyuwangi,” ungkapnya.

Arif menambahkan, pria yang semasa hidup juga tercatat sebagai ketua Dewan Paripurna Legiun Veteran RI (LVRI) dan DHC 45 Banyuwangi itu juga ingin bertemu orang nomor satu di jajaran Pemkab Banyuwangi tersebut untuk “menitipkan” Gedung Juang Banyuwangi. “Jangan sampai para veteran yang sudah berjuang demi kemerdekaan bangsa ini terabaikan,” paparnya menirukan ucapan Is Soetrisno. Sementara itu, Sasmito Wahyu Nugroho, 25, salah satu cucu Is Soetrisno mengungkapkan, sang kakek tutup usia sekitar pukul 23.00 pada Senin (14/5) setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Islam (RSI) Fatimah selama sepuluh hari.

Sekitar dua bulan sebelumnya, dia juga menjalani opname di rumah sakit yang sama. “Sejak sekitar setahun lalu kakek memang sering sakit,” ujarnya. Di mata Sasmito, kakeknya adalah sosok yang sangat penyayang kepada keluarga. “Kami merasa sangat kehilangan sosok pengayom seperti beliau,” pungkasnya. (RADAR)