Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Ithuk-ithukan, Cara Warga Mensyukuri Alam

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Masyarakat Suku Osing memiliki kekayaan tradisi yang tak lekang oleh zaman. Salah satu-satunya adalah ithuk-ithukan yang terus dijalani warga Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan syukur atas melimpahnya sumber mata air di desa.

Siang itu puluhan ibu warga Dusun Rejopuro berbaris rapi dalam busana khas Suku Using. Yang laki mengenakan baju hitam-hitam dan kaum perempuannya memakai kebaya hitam dan bawahan jarik Banyuwangi. Di atas kepala mereka tersunggi baskom berisi ithuk-ithukan yang di dalamnya ada makanan menu sederhana.

Ithuk adalah bahasa setempat yang berarti alas makan yang terbuat dari daun pisang. Ratusan Ithuk tersebut siap diarak warga dusun dengan berbagai menu lainnya, seperti ingkung ayam bakar.

Usai berdoa bersama, arak-arakan tersebut lalu dilepas oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Istimewanya, Komandan Pangkalan Laut Utama (Danlatamal) V Laksamana Pertama TNI Edwin, S.H juga turut meramaikan acara tersebut. Danlantamal Edwin hadir dalam rangka meresmikan kampung sidat, yang merupakan program kolaboratif antara pemkab dengan TNI AL.

“Tradisi ini adalah salah satu wajah Indonesia dimana nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan menjadi energi yang menyatukan warga. Saya bangga dengan Banyuwangi, disini meskipun daerahnya terus maju dan modern tapi tidak meninggalkan adat tradisi yang di dijaga oleh warga,” kata Danlatamal Edwin.

Arak-arakan dimulai dari pusat pemukiman Rejopuro menuju sumber air yang bernama Sumber Hajar. Lalu ithuk-ithuk tersebut dimakan bersama-sama setelah berdoa bersama di sumber air tersebut. Sumber Hajar sangat penting bagi masyarakat Rejopuro karena air nya yang sangat melimpah dimanfaatkan untuk mengairi sawah dan kebutuhan sehari hari.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, tradisi ini merupakan salah satu kearifan lokal yang mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga keseimbangan alam. Kenduri yang digelar di sumber air, lanjut dia, menandakan begitu pentingnya setiap manusia untuk menjaga sumber air sebagai salah satu sumber kehidupan manusia.

“Kami akan terus menjada tradisi semacam ini di tengah moderenitas yang terus tumbuh. Tradisi yang diwariskan leluhur ini, menunjukkan bagaimana kita manusia harus menghormati dan menjaga alam ini dengan bijaksana,” ujar Anas.

Sesepuh Dusun Rejopuro, Sarino mengatakan, tradisi ithuk-ithukan ini digelar setiap 12 Dulqaidah (bulan ke sebelas penanggalan Hijriyah). Tradisi ini ini selain sebagai bentuk rasa syukur atas rahmat dari Yang Maha Agung atas sumber daya alam yang melimpah, ini juga digelar agar masyarakat bisa saling kepethuk (bertemu-red).

“Ithuk ini juga diambil dari kata kepethuk. Thuk lalu menjadi ithuk. Banyaknya ithuk yang disajikan ini menandakan jangan sampai ada masyarakat yang lapar. Semua harus kebagian, bahkan yang sedang sakit sekali pun akan kami antarkan ithuk ini ke rumahnya,” ujar Sarino.

Tradisi ini, imbuh Sarino, merupakan bentuk syukur warga atas sumber air di desanya yang melimpah dan tidak pernah kering.

“Kami bisa mengairi sawah dan melakukan aktifitas lainnya di sumber tersebut. Berkat sumber air itu pula, hidup kami disini jadi terasa nikmat, warga menjadi dekat satu sama lain dan mudah memaafkan,” kata Sarino.

Itu sebabnya, imbuh Sarino, dusun ini dinamakan Dusun Rejopuro. Rejo artinya ramai, Puro artinya memaafkan.