Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Jaga Kualitas Suara, Benamkan Kepala di Air

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Nanang Qosim bersama Burhadi.

JAM tangan sudah menunjukkan pukul 10.40. Seorang lelaki dengan mengenakan sarung dan baju koko berwarna putih tampak berjalan dengan cukup hati-hati. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat, kedua matanya terbungkus kacamata hitam.

Sementara tangan kirinya meraba-raba di sekelilingnya. Lelaki muda itu adalah Nanang Qosim,  penyandang tuna netra warga Dusun Labansukadi, Desa Labanasem, Kabat. Meski kedua matanya tidak lagi bisa melihat dengan normal, Nanang masih mampu berjalan kaki menuju masjid di sekitar rumahnya.

Tongkat di tangan kanan seolah menunjukkan arah menuju Masjid Baitul Muttaqin yang berjarak sekitar 100 meter dengan melewati gang-gang sempit perkampungan padat penduduk. Dengan tegap dan tenang, Nanang akhirnya sampai di pintu gerbang samping masjid.

Begitu sampai di serambi masjid, Nanang meletakkan kopiah dan melinting kain di lengannya. Sejurus kemudian, Nanang berjalan menuju tempat bersuci mengambil air wudlu yang terletak di depan masjid. “Saya sudah terbiasa dan hafal, jadi tidak perlu alat bantuan. Cukup dengan hitungan kaki saja,” ungkap  Nanang.

Usai wudhu, anak tunggal pasangan suami-istri Jubaidi, 53, dan Sumaiyah, 50, kembali mengenakan kopiah dan masuk ke dalam masjid. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.17. Dia langsung mengambil sebuah microphone dan mulai melantunkan salawat tarhim.

Jika di masjid dan musala pada umumnya selawat tarhim diputar menggunakan kaset atau video compact disc (VCD) . Tapi di masjid kebanggaan warga Labansukadi itu sudah tak berlaku karena setiap saat Nanang dengan sukarela melantunkan salawat tarhim secara langsung melalui pengeras suara.

Lantunan suaranya cukup lantang, merdu, melengking dan nyaring terdengar. Suara itu bagi warga setempat sudah tak asing lagi. Karena sejak belasan tahun silam, suara tersebut sudah sangat  akrab di telinga warga.

Sejak kehadiran Nanang, suasana Masjid Baitul Muttaqin sudah tak sepi lagi. Merdu suara Nanang Qosim sangat mewarnai kemakmuran masjid. Nanang mengaku, sudah mulai adzan di masjid dekat rumahnmya sejak lulus dari sekolah dasar (SD).

Ketika itu penglihatannya masih cukup terlihat. Namun, kini seiring berjalannya waktu penglihatannya sudah nyaris gelap tak kelihatan apapun. Sejak SD itu, dia sudah memilih dan menekuni menjadi muazin. Mengenai jenis nada adzan itu dia pelajari secara otodidak. Termasuk, dia juga mulai belajar qiro`ah melantunkan bacaan ayat-ayat suci Alquran.

“Kalau baca Alquran tidak bisa, hanya mendengarkan secara langsung dari teman saya dan kaset lalu saya tirukan hingga hafal. Setelah hafal, baru kembali saya bacakan di depan ustadz saya,” ungkap Nanang.

Jika bacaannya sudah betul mengenai makhorijol huruf dan panjang pendek bacaannya, barulah dia berani mempratikan langsung dengan pengeras suara. Jika masih terdapat kesalahan, dia berupaya untuk belajar membetulkan bacaan tersebut hingga benar dan baik.

Untuk bisa menghafal salawat tarhim, Nanang mengaku membutuhkan waktu 2,5 tahun. Menghafal salawat tarhim memang tidak mudah, butuh perjuangan dan kerja keras. Agar kualitas suaranya terjaga, dia mempunyai trik dan jurus tersendiri.

Caranya yakni menyelupkan bagian kepala ke dalam kolam (bak) air sambil berteriak sekuat tenaga selama 1,5 menit. Metode itu dinilai dapat menciptakan kualitas suara dan napas yang kuat.

Sebelum melantunkan salawat tarhim, adzan, maupun membaca Alquran saat qiro`ah, diupayakan satu jam sebelumnya tidak makan atau minum. “Pokoknya kondisi perut harus posisi kosong, agar napas lebih kuat dan suara lebih lantang,” katanya.

Karena sudah menjadi muadzin di Masjid Baitul Muttaqin itu, dia juga mempunyai cara agar warga dan jamaah yang mendengarkan tidak bosan. Setiap harinya, nada lantunan adzan yang dilantunkan berbeda-beda.

Yang paling berat menurutnya adalah adzan di hari Kamis dan Jumat. Karena di hari itu, nada intonasi adzan harus tinggi dan melengking. Praktis, kondisi itu baginya sangat menguras suara. Apalagi saat puasa Ramadan.

Pantangan menjadi qori’ dan muadzin baginya adalah tidak makan dan minum sembarangan. Sehingga harus benar-benar menjaga pola makan dan minum setiap hannya. Bahkan, salah satu minuman yang jadi pantangannya adalah es dan wedang jahe.

Merdu suaranya dalam melantunkan ayat-ayat suci Alquran dan adzan juga membawa berkah. Dalam setiap kesempatan, dia  diundang oleh takmir masjid di lain desa dan kecamatan untuk melantunkan salawat tarhim dan adzan. Serta dalam acara peringatan hari besar Islam, juga kerap di undang untuk menjadi qori’.

“Kalau diundang ke lain desa syaratnya hanya satu pokok harus dijemput dan dihantarkan pulang kembali,” jelasnya.  Nanang berharap bisa melantunkan panggilan salat itu di Masjid Raya Al-Akbar Surabaya.

Usaha itu pernah dia coba dengan datang langsung ke Surabaya. Sayang, sesampainya di Masjid Raya Al-Akbar Surabaya itu dia justru ditolak dan tidak diberikan izin menjadi muadzin. “Saya sangat kecewa, semoga lain waktu saya bisa datang kembali ke Masjid Raya Al-Akbar Surabaya dan adzan di sana,” harapnya.

Tidak hanya itu, setelah menguasai selawat tarhim, kini dia juga berkeinginan bisa rekaman. Sehingga, suara salawat tarhim yang dilantunkannya itu bisa diputar di masjid-masjid dan musala-musala. “Kemampuan saya hanya ini dan saya ingin menjadi orang yang bertnanfaat dengan jalan ini,” tandasnya.

Kemampuan Nanang Qosim itu juga mendapat apresiasi dari Ketua Takmir Masjid Baitul Muttaqim Burhadi, 64. Nanang Qosim mampu menjadi warna remaja dan pemuda di kampungnya untuk giat beribadah. Tidak hanya salat lima waktu, akan tetapi  dalam setiap kegiatan seni Islami seperti hadrah dan kegiatan lainnya.

“Semoga adik Nanang ini motivasi anak muda yang kini mulai enggan menjalankan ibadah salat jamaah di masjid,”  harapnya. (radar)