Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Jamasan Pusaka Kerajaan Blambangan

Ilham Trihadinagoro sedang melakukan prosesi jamuan keris di pelinggihan Disbudpar Banyuwangi, kemarin (21-9).
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Ilham Trihadinagoro sedang melakukan prosesi jamuan keris di pelinggihan Disbudpar Banyuwangi, kemarin (21-9).

Di Ketapang, Pawai Obor Keliling Desa

BANYUWANGI – Sejumlah benda pusaka peninggalan Kerajaan Blambangan dikeluarkan untuk dilakukan penjamasan (penyucian) di Pelinggihan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, kemarin (21/9).

Ada berbagai jenis benda pusaka yang di-jamas. Mulai keris, tombak, hingga pedang berukuran besar milik Raden Tumenggung (RT) Pringgokusumo yang memerintah Banyuwangi pada tahun 1867 hingga 1881.

Jamasan pusaka ini merupakan kegiatan budaya yang merupakan kegiatan budaya yang rutin dilakukan setiap bulan Suro (Muharram). Dalam jamasan ini, dilakukan pencucian terhadap sejumlah bendapusaka.

Ritual ini bagian dari kegiatan kebudayaan yang terus dikembangkan. “Jamasan ini dilakukan secara terbuka untuk umum,” ungkap KRT. H. llham Trihadinagoro budayawan Banyuwangi sekaligus yang berperan men-jamas benda-benda pusaka tersebut.

Prosesi Jamaran Pusaka dan Tosan Aji itu dilakukan terbuka untuk umum. Tujuan kegiatan tersebut tak lain adalah untuk melestarikan kearifan lokal budaya ruwatan, merawat pusaka, tosan aji.

“Jamasan itu sebenarnya tidak harus bulan Suro (Muharram), tapi bulan ini dianggap yang paling baik,” terang Ilham. Jamasan Pusaka tersebut digelar mulai kemarin (21/9) hingga Rabu (27/9) mendatang.

Selain Jamasan Pusaka, juga digelar berbagai kegiatan lain seperti pameran pusaka sarasehan, dan konsultasi perawatan pusaka. Pusaka-pusaka yang dipamerkan berjumlah dua ratusan dan semuanya memiliki nilai seni dan sejarah yang sangat tinggi.

Pusaka-pusaka tersebut, yakni pusaka yang pernah ada di zaman Kerajaan Majapahit, Blambangan, Pajajaran, Sriwijaya, Melayu, Bugis, Bali, dan Lombok. “Keris Blambangan berumur dua abad juga saya pamerkan dalam kegiatan ini,” imbuh Ilham.

Dalam kegiatan itu, dia juga tengah menyosialisasikan tentang pedang lukuk milik Kerajaan Blambangan. Karena konon pedang luwuk digunakan pada zaman penjajahan untuk melawan VOC Belanda terutama saat berlangsungnya perang Puputan Bayu.

Pedang luwuk tersebut, merupakan pedang yang pada bagian bibirnya dilumuri bisa ular hijau (ulo luwuk). Benda pusaka tersebut merupakan yang paling ditakuti VOC Belanda. Sebab, jika pedang luwuk itu dihunuskan racunnya mampu menyebar dan mematikan tentara VOC Belanda.

“Kita juga ingin mengenalkan pada khalayak, jika Banyuwangi juga mempunyai pedang yang sangat ditakuti oleh Belanda. Dan kami ingin agar pedang luwuk ini juga bisa jadi warisan pusaka Banyuwangi,” terangnya.

Diharapkan dengan kegiatan jamasan pusaka, dan tosan aji tersebut, pusaka-pusaka yang telah banyak menyimpan energi negatif bisa dilepas untuk dibersihkan dan diganti dengan energi positif. Sehingga akan berdampak baik terhadap sang empunya (pemilik).

“Biasanya ada cerita jika ada keris yang sampai bergoyang, bahkan sampai berpindah tempat. ltu karena terlalu banyak energi negatif dan tidak pernah dijamas,” tandasnya.

Sementara itu, menyambut pergantian Tahun Baru Islam (1 Muharam 1439 H) atau dalam kalender masyarakat jawa dikenal dengan bulan Suro, ratusan masyarakat di Dusun Rowo, Desa Ketapang menggelar pawai obor Acara yang rutin digelar setiap tahun itu diikuti oleh semua kalangan, mulai anak-anak hingga dewasa, laki-laki dan perempuan, serta diiringi oleh musik hadrah dari remaja masjid setempat.

Sebelum memulai acara, ratusan warga berkumpul di tempat luas yang sudah disediakan oleh panitia. Kemudian, acara dimulai dengan salat Maghrib berjamaah. Setelah itu warga Dusun Rowo, Desa Ketapang, itu berjalan berkeliling serentak sejauh 4 kilometer dengan membawa obor yang dibuat dari bambu.

Uniknya. iring-iringan itu berhenti sejenak di setiap pertigaan jalan atau perempatan jalan untuk mengumandangkan azan. Setelah azan dikumandangkan, salah satu warga menyalakan kembang api sebagai tanda dimulainya perjalanan pawai obor keliling desa lagi.

“Suara azan dikumandangkan di setiap sudut perempatan dan pertigaan bertujuan supaya mengusir segala tolak bala serta diharapkan kendaraan yang lewat di jalan itu tidak mengalami kejadian celaka atau hal buruk lainnya,” ujar Sukardi, 60, Panitia Hari Besar islam (PHBI).

Setelah berjalan berkeliling desa, ratusan warga kembali ke tempat awal perjalanan. Di tempat lahan luas itu sudah disediakan ratusan tumpeng dengan aneka macam lauk. Kemudian, warga bersama-sama menyantap tumpeng yang sudah disediakan tersebut.

“Acara ini sudah ada dari dulu dan turun temurun. Tujuannya untuk mensyukuri hasil panen yang sudah didapatkan selama satu tahun ini. Serta menjalin silaturahmi antar warga juga,” ucap Sukardi.

Selain itu, terdapat tumpeng yang terbuat dan palawija hasil pertanian masyarakat setempat. Tumpeng berisi terong cabai, jeruk, pisang, serta hiasan buah lainnya. “Acara ini selalu ramai diikuti oleh warga dan semua yang ikut pasti merasa senang karena dilakukan beramai-ramai,” tandas Gista, 17, warga Dusun Rowo. (radar)