Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Jualan Keliling Kota, Penghasilan Tidak Pasti

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

asdumo-mengerjakan-werongko-sarung-keris-dagangannyadi-tepi-jalan-raya-rogojampi-kemarin

ARUS lalu lintas Rogojampi pagi itu sangat ramai dengan aneka kendaraan. Kepulan asap kendaraan bercampur debu bebas  beterbangan. Udara yang semula sejuk berganti panas. Seorang lelaki tua duduk bersila di atas karung plastik di emperan pertokoan  di tepi jalan raya Desa/Kecamatan Rogojampi.

Di depan lelaki tua itu ada sebuah kotak  kayu berukuran 35 centimeter x 60 centimeter. Isi kotak itu werongko atau sarung keris dengan berbagai jenis dan ukuran. Selain  itu, juga ada gagang (pegangan) keris. Kakek yang rambutnya sudah beruban itu terlihat sibuk membersihkan dan menggosok satu per satu werongko dagangannya menggunakan pecahan kaca agar mengilap.

Begitulah kegiatan yang dilakukan Asdumo, perajin dan pedagang werongko keris. Puluhan werongko keris dagangannya itu merupakan hasil karyanya yang dibuat sendiri dengan bahan kayu kemuning. Bahan baku lain adalah  kayu sawo, mentaos, sentigi, dan cendana.

“Paling sering saya menggunakan kayu kemuning, karena tahan rayap dan tidak  mudah lapuk,” ujarnya.  Pemilihan kayu dalam pembuatan werongko itu sangat penting. Sebab, werongko itu akan digunakan selama-lamanya. Dia sengaja membuat werongko polos sederhana tanpa motif atau ukiran yang aneh-aneh.

Khusus werongko keris yang dibawa untuk  dijual terdiri atas tiga ukuran, yakni kecil, sedang, dan besar.  Mengenai teknik pembuatan werongko, Asdumo tidak terlalu kesulitan. Hanya dibutuhkan ketelitian dan wawasan tentang perkerisan atau benda pusaka.

“Kalau sudah terbiasa ya mudah. Saya sudah membuat werongko sejak  kecil dan itu turun-temurun,” ungkap lelaki itu sambil nyeruput segelas kopi di sampingnya. Dalam pembuatannya, kayu pilihan sesuai pesanan dipola mengikuti alur keris. Lalu digergaji sesuai pola, dan dihaluskan sebelum diukir berdasar selera pemesan.

Selanjutnya, werongko setengah jadi itu dilubangi secara  membujur menggunakan peralatan khusus.  Setelah diplitur akan tampak mengilap dan  menarik. Dia membersihkan permukaan kayu  werongko keris menggunakan pecahan kaca tutup cangkir.

Sepintas memang tampak mudah, yakni  hanya menggoreskan tutup cangkir ke permukaan  kayu. Tapi itu butuh ketelitian dan keahlian. “Proses menggores harus dilakukan hati-hati agar hasilnya rata,” jelas bapak tiga anak itu. Tahap-tahap membuat werongko harus dilalui  demi mendapatkan karya yang maksimal dan  bernilai seni tinggi.

Keterampilan membuat sarung keris itu warisan leluhur secara turun-temurun. Moyangnya dulu mengabdi di Kerajaan Sumenep, Madura. “Kalau pesanan banyak, saya pulang dan mengerjakan di Sumenep (Madura),” terangnya. Terkait karyanya itu, Asdumo mematok harga bervariasi, tergantung tingkat kesulitan dan besar-kecilnya werongko dan jenis bahan bakunya.

Menurutnya, harga werongko itu mulai Rp 75  ribu hingga Rp 200 ribu per buah. Bulan Suro  merupakan bulan yang paling dinanti. Setiap Suro sebagian kolektor benda pusaka kuno harus mengeluarkan dan mencuci serta melakukan perawatan keris, termasuk mengganti werongko jika dianggap sudah tidak layak.  “Sekarang pembeli sangat jarang, Suro juga  sepi,” keluhnya. (radar)