Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Jualan Omprok Keliling Kampung, Panen Tiap Ada Gandrung Sewu

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

DUA buah omprok gandrung berwarna emas terlihat terpajang di jalan Kapten Piere Tendean. Keduanya dipasang di badan manekin yang mengapit sebuah sepeda motor berwarna hitam. Di bawahnya tertulis tulisan omprok yang menandakan kedua mahkota yang biasa digunakan oleh gandrung itu untuk dijual.

Fadeli, pedagang sekaligus pembuat omprok tersebut terlihat duduk tak jauh dari sepeda motor hitam miliknya. Dengan mata sayunya, pria yang rambutnya sebagian sudah memutih itu terlihat memandang awas ke jalanan. Menanti siapa tahu ada orang yang berminat membeli omprok daganganya.

Pria berusia 67 tahun itu mengaku sudah sepuluh hari omproknya tidak terjual. Baru semalam sebelumnya dua  omproknya laku dibeli orang. Bagi Fadeli hal itu bukan masalah. Sebagai seorang seniman, dia tidak begitu mengejar penjualan dalam jumlah besar.

Yang terpenting, kata dia, ada orang yang bisa menghargai karyanya lalu membelinya. “Banyak yang bilang harganya  terlalu mahal. Mungkin mereka menganggapnya ini mainan saja, padahal saya membuatnya juga tidak sembarangan. Hanya karena bahanya dari karton bukan berarti omprok ini mainan,” jelas Fadeli.

Dirinya berdagang omprok diawali sejak dua setengah tahun lalu. Saat itu dia dimintai tolong untuk membuatkan omprok yang akan digunakan siswa SMP untuk tampil gandrung. Fadeli pun menyanggupi meskipun saat itu belum memiliki kemampuan untuk membuat omprok.

Berbekal sebuah omprok yang dibelinya dari Desa Kemiren, dia mulai membuat omprok berbahan karton. Peralatan pun seadanya. Ada  cutter, lem dan gunting, Dengan peralatan itu, pensiunan Sekretaris Kelurahan Tukang Kayu itu berhasil membuat sekitar enam puluh omprok dengan hasil yang memuaskan.

Setelah berhasil, barulah Fadeli berniat untuk menjajakan hasil karyanya. Dengan modal Rp 200 ribu, dirinya mulai berjualan omprok sejak saat itu. Fadeli pun langsung membuat mal-malan dari omprok asli. Meski berbahan  karton, dia tidak meninggalkan pakem omprok.

”Saya buat sebaik mungkin. Kalau cuma kecipratan air, tidak mungkin rusak. Harganya mungkin terbilang mahal, satu unitnya mulai Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Tapi untuk orang yang bisa menghargai seni, harga segitu sudah sesuai,” kata  Fadeli.

Untuk setiap omprok, Fadeli membutuhkan waktu sekitar tiga hari. Semuanya dikerjakanya sendiri. Setelah mulai bisa membuat omprok sejak tahun 2016 lalu, dia mulai berdagang di Pantai Boom. Fadeli berjualan tak jauh dari gapura masuk.

Karena aturan berdagang di Pantai Boom semakin sulit, dia pun memilih berpindah berdagang di Pulau Santen.

“Kalau dibilang laris ya tidak, tapi yang beli ada saja. Pernah sebulan waktu puasa tidak laku sama sekali, baru laku setelah ada seblang olehsari. Alhamdulillah laku lima saat itu,” kata kakek enam cucu itu.

Setelah Pulau Santen berubah konsep menjadi pantai syariah, pembeli omprok semakin berkurang. Pernah dirinya sampai tidak makan selama dua hari karena daganganya tak kunjung laku. Sampai akhirnya Fadeli memilih untuk berdagang keliling mengikuti di mana ada even kebudayaan yang ramai di Banyuwangi. Seperti even-even di Kemiren, Olehsari atau even Gandrung Sewu di Pantai Boom.

“Di sini baru setahunan, mulai habis maghrib sampai pukul 21.00  baru pulang. Buka setiap hari, kecuali saya sakit. Kadang kalau sakit orang masih mencari. Tapi mencarinya tidak susah, rumah saya dekat sini. Tanya Pak Omprok sudah tahu semua,” ujar pensiunan PNS golongan II D itu sembari tersenyum.

Meski hasil berjualan omprok tidak menentu, Fadeli tetap menekuni usahanya tersebut. Apalagi pasar omprok tidak akan pernah habis.

“Kalau menghitung festival Gandrung Sewu saja, sudah ada ribuan orang yang butuh omprok. Belum acara lainya jadi saya optimistis pasti laku. Ini juga untuk terus menghidupkan budaya Banyuwangi,” tuturnya.

Untuk menghitung berapa orang pembeli omprok, Fadeli bahkan mendata setiap orang yang sudah membeli karyanya. Semuanya dicatat di buku kecil yang tidak pernah ditinggalkan ketika berjualan.

“Paling dekat ya orang Banyuwangi kota. Kalau yang paling jauh ada orang Bontang dan Papua, semua saya catat. Ini berarti budaya kita sangat menarik. Omprok ini bisa untuk cindera mata juga tidak mesti harus dipakai,” tandasnya.