LAYAKNYA rumah pencinta burung berkicau, hunian yang ditempati Atim Ismail, 39, warga Desa Kelir, Kecamatan
Kalipuro ini juga tak luput dari kurungan burung yang berjajar menggantung di langit-langit rumah. Kicauan burung pun menjadi penyambut khas bagi tamu yang berkunjung di rumahnya tak jauh dari Puskesmas Desa Kelir tersebut.
Namun, yang menarik bukanlah aktivitas di dalam rumah itu. Sekitar dua meter di belakang rumah yang berada di lingkungan perkampungan padat itu ada sebuah lokasi yang dikelilingi dengan dinding anyaman bambu (gedhek). Lokasi seluas 3×2 meter itu ternyata adalah sebuah tempat pengembang biakan burung Murai Batu yang sengaja dibuat oleh Atim.
“Awalnya hanya coba-coba saja. Harga burung murai batu kan mahal, teman- teman di sini banyak yang suka tapi tidak mampu beli. Jadi saya coba silangkan burung yang saya punya supaya bisa dijual dengan murah ke teman- teman,” ujar Atim.
Melihat kedatangan Jawa Pos Radar Banyuwangi yang tam pak berniat mengamati aktifitas di peternakan kecil itu, Atim pun mengajak saya untuk melihat lebih dekat. Rupanya ruangan dari pagar anyaman bambu itu adalah pelindung untuk sebuah sangkar burung murai yang ada di dalamnya.
Atim sengaja membuat bangunannya berbentuk demikian supaya tidak ada orang yang mendekati sangkar tersebut. “Burung murai ini sensitif dengan aktivitas manusia. Jadi supaya proses perkembangbiakan tidak terganggu, harus diberi batas seperti ini. Jadi seolah burung ini tidak melihat ada manusia,” terang bapak dua anak itu.
Idenya memulai beternak murai, menurut Atim, muncul setahun silam. Sebagai salah se orang penggemar burung, dia mengaku kesulitan menemukan burung murai batu yang kualitasnya sesuai dengan harganya. Atim pun berpikir untuk mengembangbiakkan sendiri burung yang memiliki habitat di dataran rendah itu.
Setelah memperoleh satu ekor pejantan murai batu Aceh dan seekor betina murai batu Medan, Atim lalu mulai mencoba mengawinkan kedua burung berwarna hitam coklat itu. Prosesnya tidak mudah, karena keduanya berasal dari wilayah yang berbeda maka dibutuhkan waktu agar bisa saling kenal.
Selama hampir tiga bulan, kedua burung itu sangkarnya di jejerkan bersama. Keduanya juga diberi rutinitas yang nyaris bersamaan. Mulai mandi, makan sampai tidur. Jadi kata Atim, ibarat aktivitas sama tapi tempatnya berbeda. Setelah ritme aktifitasnya sama, barulah dia membuat sebuah sangkar besar yang nantinya akan digunakan sebagai sangkar bersama.
Lalu setelah jadi mulailah si betina dimasukkan ke dalam sangkar sampai terbiasa dengan kandang barunya. Setelah itu barulah si pejantan dimasukkan agar bisa berinteraksi dengan si betina. “Dua burung ini karakternya berbeda. Yang pejantan murai Aceh lebih galak. Kalau yang betina lebih jinak. Awalnya waktu baru dibarengkan mereka tidak mau berdekatan, tidurnya jauh-jauhan. Tapi pas sudah terbiasa, baru mepet terus, beda sama manusia,” kata pria berjidat lebar itu sambil tersenyum.
Setelah dirasa mulai berbaur, Atim selanjutnya mulai mengatur sarang agar semirip mungkin dengan habitat si burung murai. Yang paling penting ada sirkulasi air. Karena itu dibuat kolam kecil yang mengalir mirip sungai. Ditambah tanam-tanaman khas tepian sungai seperti talas dan bambu air.
Atim menceritakan setelah itu barulah dua ekor burung yang dikawinkan itu mulai menunjukkan perkembangan. Sekitar tiga bulan kemudian, si betina mulai bertelur. “Sayangnya telur pertama gagal semua. Padahal ada sembilan butir waktu itu. Yang kedua berhasil menetas tapi mati semua setelah menetas, barulah yang ketiga sama yang keempat ini mulai hidup,” jelasnya.
Sejak berhasil menetaskan dan merawat hingga usia cukup besar dari anak-anak burung murai yang dipeliharanya itu, Atim mengaku sudah mulai mengenali karakter murai batu. Dia pun berniat untuk bisa mengembangbiakkan murai batu hasil persilangannya lebih banyak.
“Untuk jenis yang ini saya belum tau dijeniskan apa. Yang jelas pejantannya murai batu Aceh yang betina murai batu Medan,” terang Atim. Jika karakter burung murai ini jika melihat makanan yang ada jumlahnya sedikit maka dia akan memilih salah satu saja dari anaknya. Jadi anak lainnya tidak akan diberi akan dan dibiarkan mati.
“Kuncinya saat mereka mau bertelur dan menetaskan ini sebenarnya ada pada pakan. Jadi harus banyak. Mulai cacing sama krotonya, kalau sedikit anak-anaknya bisa mati,” imbuhnya. Meski belum bisa mengembangbiakkan dalam jumlah banyak, namun dia berniat bisa terus memperbanyak jumlah burung murai yang dikembangbiakkannya.
Selain supaya bisa memenuhi keinginan pencinta burung yang ada di sekitar tempat tinggalnya, dia ingin suatu hari nanti bisa melepas liarkan burung-burung berharga jutaan rupiah itu. “Harganya masih tinggi. Jadi harus ditunggu anakannya ini besar kalau mau mengembangkan lagi,” terang Atim sambil memberi makan burungnya. (radar)