Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Kisah Pilu Keluarga Balita yang Tewas Dibanting Tukang Ojek

Rina Munarsih (kiri) tertunduk lesu bersama ayah iparnya, Sumawi di rumahnya Lingkungan Stendo RT 1/ RW 8, Kelurahan Tukang Kayu , kemarin (1/11).
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Rina Munarsih (kiri) tertunduk lesu bersama ayah iparnya, Sumawi di rumahnya Lingkungan Stendo RT 1/ RW 8, Kelurahan Tukang Kayu , kemarin (1/11). Dan, makam Alesha Keisha Ardani.

Empat hari pasca ditinggal putrinya, suasana duka masih menyelimuti keluarga pasangan suami-istri Wiyono, 35, dan Rina Munarsih, 28. Keluarga yang tinggal dilingkungan Stendo, RT 1/ RW 8, Kelurahan Tukang Kayu itu masih teringat putrinya yang imut, lucu, dan periang.

DEDY JUMHARDIYANTO, Banyuwangi

JARUM jam sore itu berada di angka tiga. Tak mudah mencari rumah pasangan suami-istri (pasutri) Wiyono dan Rina Munarsih. Meski berada di tengah perkotaan, rumah duka balita korban penganiayaan itu berada di tengah perkampungan.

Untuk sampai ke rumah itu harus melewati jalan dengan lebar hanya sekitar tiga meter. Kendaraan roda empat juga harus parkir di tepi jalan. Dari jalan kampung, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik motor.

Rumahnya terletak persis di sebelah selatan pemakaman umum Setro Pengantin. Ukuran rumah itu tak terlalu luas. Hanya, lima kali enam meter.

Sore itu, suasana rumah duka sepi. Halaman depan rumah itu tak ada sampah berserakan. Kondisi tanah depan rumah itu masih tampak basah. Guratan bekas sapu lidi di halaman teras depan rumah itu masih membekas jelas. Tumpukan kursi sofa rapi di letakkan di teras rumah.

Karpet menghampar di ruang tamu. Begitu pula gelas air mineral dan dua toples berisi kue dan jajanan kering tersaji di ruang tamu. Seorang wanita muda tertunduk lesu, gurat wajahnya masih lesu. Kedua kelopak matanya juga bengkak, pipinya masih sembab.

Wanita muda tak lain adalah Rina Munarsih, ibu kandung Alesha Keisha Ardani. Balita berusia 22 bulan itu Sabtu lalu (28/10) meninggal cukup tragis. Hasil keterangan polisi, balita yang akan berulang tahun pada 18 Desember itu meninggal dunia setelah dianiaya oleh Efendi alias Efen yang tak lain adalah tukang ojek langganan ibunya.

Balita cantik itu tewas setelah dijantur dan dibanting ke tempat tidur. Alasannya sepele, pelaku menganiaya korban karena gadis kecil itu tak henti-hentinya menangis.

Rina Munarsih mengaku pagi itu ia bersama putri sulungnya Keisha hendak menuju rumah orang tuanya di Desa Dadapan, Kecamatan Kabat. “Saat itu anak saya tidur. Karena iba saya mampir  ke rumah Efen titip sebentar mau nemui teman saya tak jauh dari rumah Efen,” ungkapnya.

Saat dititipi putri sulungnya itu, Efen menerima dengan baik. Dia juga tidak menaruh curiga karena Efen merupakan tukang ojek langganan yang kerap mengantarkan dirinya ke Desa Dadapan.

Betapa terkejutnya, setelah kembali lagi ke rumah Efen untuk menjemput putrinya, dia justru mendapati putrinya sudah tak sadarkan diri. Kening putrinya lebam. “Saat itu saya sempat minta Efen untuk mengantar ke Rumah Sakit Fatimah. Baru setelah suami saya datang ke rumah sakit, Efen pulang,” kenangnya.

Takdir berkehendak lain. Anak dari pernikahannya dengan Wiyono itu mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Hingga akhirnya, dia dan pihak keluarga melaporkan dugaan penganiayaan yang dilakukan Efen tersebut ke polisi.

“Kami tidak terima. Tapi kami sekeluarga tidak dendam. Kami pasrahkan semua kepada polisi dan aparat penegak hukum,” jelasnya.

Hingga hari ke empat pasca putri sulungnya meninggal dunia, Wiyono masih belum bisa diajak komunikasi. Maklum, semasa hidup Wiyono terkenal paling dekat dengan putrinya. “Keadaan rumah ini berubah sejak kami kehilangan putri kami. Seperti ada yang kurang. Rengekan canda tawanya masih membayangi pikiran semua anggota keluarga ini,” cetus Rina.

Kenangan selama hidup tak bisa terhapus dengan Cepat. Apalagi, pusara putrinya itu juga terletak tak jauh dari rumahnya. Jaraknya hanya sekitar delapan meter dari depan rumahnya. Letak pusara makan putrinya itu hanyaterpisah dengan pagar tembok.

Jika dilihat dari balik pagar, pusara itu terlihat jelas. Kondisinya tanahnya masih belum kering, sebuah payung kecil berada di atas batu nisan. Kembang setaman tujuh rupa juga masih menghampar segar di atas pusara balita itu.

Sumawi, 54, kakek kandung Keisha juga tak bisa melupakan kenangan bersama cucunya itu. Dia orang yang paling tidak bisa melupakan kenangan cuçunya. Apalagi saat hari Sabtu, menjadi kebiasaan cucunya meminta uang darinya. “Saya hari Sabtu terima bayaran. Jadi cucu saya itu minta uang sambil menengadahkan tangannya,” ujar Sumawi menirukan gerakan cucunya kala itu.

Tidak hanya dia, semua anggota keluarga sangat kehilangan sosok cucunya yang terkenal pendiam, riang, dan menggemaskan tersebut. Teman sebaya yang biasa sepermainan dengan cucunya itu juga kerap bertanya.

“Kami tidak bisa melupakan begitu saja. Mutngkin sudah takdirnya seperti ini. Kami ikhlas menerima. Semoga Allah menempatkan cucu saya disisi Allah SWT,” harap Samawi. (radar)