Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Manisnya Bertani Jeruk

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

manisnuaSehari Kirim 6 Ton, Transaksi Rp 210 Juta

BANYUWANGI dikenal sebagai lum bung jeruk di Jawa Timur setelah tanaman padi. Saat ini, sentra-sentra je ruk tersebar berada di wilayah Pesanggaran, Tegaldlimo, Bangorejo, dan Pur woharjo. Di kawasan itu, ratusan hek tare lahan pertanian penuh tanaman je ruk keprok (Citrus reticulata/Nobilis l). Bagi petani jeruk, berkebun buah rasa manis itu cukup menjanjikan. Gudang ukuran 5×10 meter itu penuh kotak yang terbuat dari kayu.

Di dalamnya berisi jeruk yang sudah dipilah-pilah; ada yang berukuran super, se dang, dan kecil. Buah-buah itu siap di kirim ke luar Banyuwangi. Beberapa orang sibuk mengepak buah jeruk dan selanjutnya diangkut ke truk Colt Disel. Itulah kesibukan yang terlihat di rumah Agus Suprapto di Dusun Kaliboyo, Desa Kra denan, Kecamatan Purwoharjo. Pria be rusia 37 tahun sudah bertahun-tahun menekuni bisnis jeruk manis. Selain se bagai pengepul, Agus juga memiliki la han jeruk berhektare-hektare.

Praktis, setiap hari kesibukan bos UD Amalia Buah itu cukup padat. ”Ini proses penge pakan, Mas. Jeruk-jeruk ini siap dik irim ke luar kota. Kita harus hari-hati me nata jeruk ini agar tidak membusuk,’’ ujar Agus kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi, Kamis kemarin (23/5). Jeruk dalam kemasan itu siap dikirim ke Jakarta, Kediri, Jawa Tengah, dan Bali. Da lam sehari, Agus mampu mengirim 4 sampai 5 truk colt diesel. Satu truk berisi 6 ton jeruk. Jika diasumsikan harga per kilo gram jeruk dari petani Rp 7.000, da lam satu truk nilainya Rp 42 juta.

Jika pakai armada 5 truk, sehari bisa transaksi jeruk Rp 210 juta. ”Bisnis jeruk itu ter gantung cuaca. Kalau hujan terus, jeruk dalam pohon bisa membusuk. Kita bisa rugi besar,’’ ucap penghobi ad venture off road itu. Agus bukan orang lama di dunia jeruk di Banyuwangi. Dia menekuni bisnis ini se jak tahun 1999. Awalnya dia beli jeruk kiloan ke petani untuk dijual lagi. Dari pe ngalaman dan keuletan ini, usahanya terus berkembang. Usaha kiloan itu akhirnya merangkak menjadi skala besar.

Dia mencoba nebas (menyewa ta naman jeruk petani) untuk dirawat sen diri. Hasilnya sungguh luar biasa. Saat ini Agus memiliki lahan sewa ta naman jeruk seluas 40 hektare di dae rah Bangorejo dan sekitarnya. ”Kalau la han punya sendiri cuma 3,5 hektare,’’ imbuhnya. Sistem sewa memang berlaku di ka langan pebisnis jeruk. Sesuai perjanjian, la manya sewa bisa sampai 5 tahun. Bi asanya, jeruk-jeruk yang siap di-tebas itu berusia 1-2 tahun atau saat awal berbuah.

Begitu lahan-lahan itu ja tuh ke tangan Agus, dia berusaha me rawat dengan baik bagaimana bisa menghasilkan buah jeruk yang benar-benar super. Dia menceritakan, tahun 2010 dia menyewa lahan jeruk seluas seperempat hektare dengan nilai Rp 40 juta. Berkat tangan dingin Agus, tanaman jeruk itu kini tumbuh subur. Buahnya sung guh luar biasa. Dalam satu pohon bisa menghasilkan 50-70 kg jeruk. Andai saja lahan seperempat hektare itu di-tebas-kan tahun ini, bisa laku Rp 120 sampai Rp 125 juta. ”Saya sewa dari petani tahun 2010 .

BUAH LOKAL LEBIH DIGEMARI

DAYA pikat jeruk lokal Banyuwangi ter nyata tidak kalah mentereng dengan jeruk impor. Sensasi rasa manis dengan sedikit kombinasi asam justru menjadi daya tarik tersendiri bagi jeruk hasil pro duksi para petani Bumi Blambangan ter sebut. Setidaknya itu terbukti dengan tren penjualan buah jeruk di pasaran. Sahwi, 38, seorang pedagang buah mengatakan, jumlah permintaan jeruk lokal jauh lebih tinggi dibandingkan jeruk impor.

Pria yang sehari-hari menjajakan da gangan di Pasar Banyuwangi itu mengatakan, sehari rata-rata dia mampu me masarkan 0,5 kuintal jeruk lokal. Pen jualan sebanyak itu jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penjualan jeruk impor yang “hanya” sebanyak 2,5 Kilogram (Kg) per hari. Menurut Sahwi, konsumen lebih memilih membeli jeruk lokal lantaran sensasi rasanya lebih segar dibandingkan jeruk impor jenis ponkam. “Rasa jeruk ponkam melulu manis.

Sedangkan rasa jeruk lokal ada sedikit kombinasi rasa asamnya. Selain itu, kandungan air jeruk ponkam lebih sedikit,” ung kapnya. Sahwi menuturkan, hal lain yang di tengarai mengakibatkan jeruk lokal le bih digemari konsumen adalah selisih har ga yang cukup mencolok. Dikatakan, harga jeruk lokal Banyuwangi “hanya” se besar Rp 14 ribu per Kg. Sementara itu, se kilo jeruk ponkam dilego ke tangan kon sumen dengan harga mencapai Rp 25 ribu per Kg.

Susi, 31, seorang pembeli mengatakan, perbedaan harga yang cukup signifi kan antara jeruk lokal dan jeruk impor terse but, bukanlah satu-satunya per timbangan. “Saya memilih jeruk lokal karena ada sedikit sensasi rasa asam pada jeruk lokal. Itulah keunggulannya,” kata dia.

SETAHUN PRODUKSI 134 RIBU TON WILAYAH

Banyuwangi Se latan tampaknya patut me nyandang predikat sentra peng hasil jeruk. Bayangkan, ri buan hektare (ha) lahan per tanian yang tersebar di wi layah Kecamatan Bangorejo, Pur woharjo, Tegaldlimo, Pesanggaran, Siliragung, Cluring, Te galsari, dan Gambiran, kini di tanami pohon buah yang kaya kandungan vitamin C tersebut. Hebatnya, dalam se tahun, total produksi buah jeruk di Banyuwangi mencapai ra tusan ribu ton.

Hal yang tidak kalah membang gakan, ratusan ribu ton buah jeruk made in Banyuwangi tersebut tidak hanya sukses merajai pasar lokal. Lebih dari itu, buah jeruk produksi para pe tani Bumi Blambangan juga telah sukses merambah pasar na sional. Sejumlah kota besar di tanah air, di antaranya, Jakarta, Bandung, Denpasar, Ba likpapan, dan Samarinda, me rupakan pasar tetap jeruk Ba nyuwangi tersebut. Kepala Dinas Pertanian, Kehu tanan, dan Perkebunan (Disper tahutbun) Banyuwangi, Ikrori Hudanto mengatakan, 8.171 ha.

Dari total ribuan ha lahan tanaman jeruk ter se but, 35 persen di antaranya ber lokasi di wilayah Kecamatan Ba ngorejo. Menurut Ikrori, mayoritas je ruk yang ditanam petani Ba nyuwangi merupakan varietas unggulan, yakni je ruk Siam. Rata-rata dalam setahun, sehektare lahan tanaman jeruk itu mampu memproduksi 165,08 ton buah yang kandungan kaya serat tersebut. “Pada tahun 2012, total produk si jeruk di Banyuwangi men capai 134.890 ton,” ujarnya kemarin (25/5).

Ikrori menambahkan, se jumlah langkah untuk me ng antisipasi serangan hama sudah dilakukan Dis per ta hutbun Banyuwangi. Salah satu nya adalah dengan be kerja sama dengan Balai Penga wasan Sertifi kasi Benih Dinas Pertanian pusat untuk membentuk kelompok pe nan gkar  ibit jeruk “Harapan kami, seluruh benih yang ditanam para petani sudah besertifi kat. Itu penting un tuk meminimalkan potensi se rangan hama.

Sebab, kalau be nih tidak besertifi kat, asalusulnya tidak jelas, sulit di pertanggungjawabkan,” paparnya. Tidak cukup hanya memper hatikan proses pra-tanam. Dis pertahutbun juga berupaya me ngedukasi para petani pada proses penanganan pas ca panen. “Kami telah me m be rikan bantuan keranjang, gunting, dan packing house ke pa da asosiasi petani je ruk. Diharapkan, petani mem per la kukan penanganan dengan baik mulai proses petik hingga pengepakan,” kata dia.

Dispertahutbun juga telah memfasilitasi pe la tihan good agri culture product ke pada para anggota kelompok tani, pengurus pertanian la pa ngan (PPL), dan sejumlah stakeholder yang lain. Kepala Bidang Holtikultura pada Dispertahutbun, Syaiful lah menambahkan, selain di pasarkan lokal, buah jeruk Banyuwangi juga dipasarkan ke kota-kota besar di Pulau Jawa, Bali, hingga Kalimantan. “Sekitar 80 persen jeruk hasil produksi petani Banyuwangi dipasarkan di luar daerah,” pungkasnya.

CUACA BURUK RUGI MILIARAN RUPIAH

TIDAK selamanya bertani jeruk menjanjikan. Ternyata, menekuni bisnis buah rasa manis dan kecut itu ada pasang-surut nya. Petani boleh berjaya  ka rena harga jeruk di pasaran cu kup tinggi. Dari petani Rp 7.000, dan harga jual di pasaran bisa menembus angka Rp 15 ribu per kg. Namun, manis bisnis jeruk te tap saja ada pahitnya. Tahun 2010 lalu bos-bos besar buah je ruk dilanda krisis. Tahun itu musim hujan tidak bisa diprediksi. Jelang musim ke marau, hujan masih mengguyur Ba nyuwangi.

Kondisi itu benarbenar menjadi petaka bagi pe tani jeruk. ”Cuaca buruk men jadi momok bagi petani. Ta hun 2010 membuat petani jeruk Banyuwangi trauma,’’ ujar se orang petani jeruk asal Srono, Agus Agianto, 33. Data yang diperoleh koran ini menyebutkan, krisis jeruk itu mengakibatkan petani rugi be sar. Gara-gara badai krisis itu, Agus Suprapto, bos UD Amalia Buah di Kecamatan Purwoharjo menderita kerugian Rp 750 juta. Gara-gara krisis itu juga Agus sampai opname ke rumah sakit.

Bos yang levelnya di atas Agus ada yang menanggung ke rugian Rp 2 miliar. ”Kita sudah keluarkan uang banyak ke petani, tapi hasilnya jeblok gara-gara diserang cuaca buruk,’’ tandas Agus. Selain persoalan cuaca, yang men jadi momok petani jeruk adalah membanjirnya buah impor. Entah itu dari China mau pun Thailand. Yang pasti, harga jeruk impor jauh lebih murah dibanding harga jeruk lokal. ”Kami mendukung langkah pemerintah membatasi im por buah dari luar negeri.

Ka lau tidak dibatasi, petani bisa gulung tikar. Susah-susah menanam jeruk, harganya malah diacak-acak dengan buah im por,’’ timpal Agus Agianto yang juga sebagai pemilik jasa eks pedisi pengiriman buah-buahan itu. Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui Direktorat Jen deral Pengolahan dan Pe masaran Hasil Pertanian Ke menterian Pertanian (Kementan) sesuai dengan Permentan No. 60 Tahun 2012,ha nya membolehkan izin impor untuk 10 komoditas horti kultura yang boleh masuk ke In donesia.

Sementara itu, 13 produk hortikultura dilarang ma suk. Tiga belas produk tersebut yaitu kentang, kubis, wortel, cabe, nanas, melon, pisang, mangga, pepaya, durian, krisan, anggrek dan heliconia. Aneh nya, meski dibatasi, buahbuah impor tersebut masih membanjiri pasaran. (RADAR)

Kata kunci yang digunakan :