Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Sosial  

Masjid-Gereja Berdampingan, Jika Lebaran Hari Minggu, Peribadatan di Gereja Ditunda

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

SEORANG lelaki mengenakan sarung, kopiah, dan membawa sajadah di tangannya. Dia berjalan kaki menuju Masjid Jami Syuhada yang ada di kampungnya. Sebelum sampai masjid, pria itu mengurangi suara langkahnya setiba di depan Gereja Kristen Jawa Wetan (GKJW) Jemaat Silirbaru, Pepanthan Kandangan.

Lokasi masjid dan gereja di Dusun Sumberbopong, Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, itu bukan hanya dekat, tapi memang bersisian persis dan hanya terpisah tembok pagar.

Seperti halnya kedua tempat ibadah itu, sudah 18 tahun lebih dua umat beragama di desa itu hidup berdampingan. Tembok pembatas yang tingginya hanya 1,5 meter, tak lantas membatasi kedua umat untuk bisa bercengkerama.

”Sudah belasan tahun berdampingan, tidak pernah ada gesekan,” ungkap sesepuh Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, Sudarmaji, 66.

Selama ini, umat Islam dan Kristen di daerah itu saling menghormati keyakinan dan menghargai cara ibadah masing-masing umat. ”Kami sudah berdampingan sejak tahun 2000. Kami ikuti ajaran kami yaitu Islam, lakum dinukum waliyadin. Islam punya toleransi yang tinggi,” ujarnya.

Menjaga situasi tetap kondusif, memang bukan perkara mudah. Pihak masjid maupun gereja, harus tanggap ketika ada isu miring soal agama. ”Saat ada isu SARA beberapa tahun lalu, daerah kami memang sempat memanas,” terangnya.

Untuk menjaga keamanan bersama, kedua tokoh umat beragama ini cepat bertemu dan memberikan pengertian kepada umatnya. Dengan cara itu, isu itu pun akhirnya bisa diredam.

”Toleransi antarumat beragama ini tetap terus dijaga, dan diturunkan ke generasi selanjutnya,” katanya.

Bila di masjid atau gereja sedang mengadakan kegiatan, maka kerja sama pun digalakkan. Saat gereja ada kegiatan besar, maka jemaat Kristiani bisa memarkir kendaraannya di halaman masjid. ”Setiap ada kegiatan saling membantu,” ungkapnya.

Mengapa kedua tempat ibadah itu dibangun berdampingan itu, bermula di tahun 1996. Saat itu, warga ingin membangun masjid di lahan yang saat itu masih kosong. ”Kita mulai membangun masjid sekitar tahun 1996,” terang Muhamad Munir, 55, Ketua Takmir Masjid Jami Syuhada.

Empat tahun kemudian atau tepatnya tahun 2000, umat Kristiani di kampung tersebut yang kala itu berjumlah sekitar 10 kepala keluarga (KK), ingin membangun gereja. Takmir masjid dan warga Kristiani itu kemudian bertemu untuk merundingkan pembangunan gereja itu.

”Takmir masjid mengizinkan pembangunan gereja di samping masjid,” ungkapnya.

GKJW Jemaat Silirbaru Pepanthan Kandangan resmi berdiri dan berdampingan dengan Masjid Jami Syuhada pada tahun 2000. Sejak itu, toleransi beragama ditanamkan oleh pengurus masjid dan gereja kepada jemaat.

”Kita selalu menghargai, meski beda keyakinan,” ungkapnya.

Selama belasan tahun hidup berdampingan, sejumlah cara dilakukan agar kedua umat yang itu selalu nyaman dengan kondisi yang ada. Misalnya, saat hari-hari besar umat Islam seperti Idul Adha atau Idul Fitri jatuh pada hari Minggu, maka pada hari itu pengurus gereja meniadakan ibadah pagi di gereja.

”Jika umat Kristen melaksanakan ibadah pada hari Minggu, maka kegiatan di masjid dihentikan dahulu. Yang pasti kami saling memberi pengertian,” jelasnya.

Saat Ramadan, pengurus gereja juga memberikan makanan untuk berbuka kepada jamaah di masjid. Satu hal yang membuat jemaat Kristen terkesan, pengeras suara masjid diarahkan menjauhi gereja. Itu memperlihatkan pengurus masjid menghargai cara ibadah dan keberagaman yang ada.

”Alat pengeras suara juga agak kami jauhkan, agar tidak mengganggu kenyamanan umat Kristen beribadah,” pungkasnya.

Exit mobile version