Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Mbah Wali Abu Hasan Basri Penyebar Islam di Blambangan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Sebarkan Islam dengan Bangun Masjid dan Musala

NAMA Mbah Wali Abu Hasan Basri cukup terkenal di Banyuwangi Selatan. Ulama karismatis yang meninggal tahun 1953 itu sangat dikenal alim dan ikut berjuang melawan Belanda. Sampai saat ini makamnya yang berada di Dusun Sumberkepuh, Desa Kedungwungu, Kecamatan Tegaldlimo, banyak didatangi  peziarah.

Tidak jarang warga yang datang sampai bermalam. Lokasi makam Mbah Wali Abu Hasan Basri berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kantor Kecamatan Tegaldlimo. Tempat makam ini sangat mudah dicari. Selain sudah ada papan petunjuk menuju arah makam, hampir semua warga yang tinggal di Desa Kedungwungu dan beberapa desa sekitar, seperti Desa Kedungggebang dan Desa Kedungasri, sudah tahu letak makam  yang dikeramatkan warga itu.

Pintu masuk menuju makam berupa bangunan gapura besar dengan lebar sekitar enam meter dan tinggi tiga meter. Samping  gapura tertulis jelas Makam Mbah Wali Abu Hasan Basri. Di gapura sebelah kanan terdapat sebuah relief Pangeran Diponegoro.

Setelah memasuki jalan kecil dengan lebar tiga meter, sepintas tidak tampak ada makam. Yang terlihat hanya bangunan kecil mirip musala yang menyatu dengan rumah. Di musala dengan ukuran lima meter kali enam meter itu ada sumur  dan tempat wudu.

Di musala itu ada lorong kecil dengan lebar sekitar satu meter. Lorong itu ternyata menuju makam Mbah Wali Abu Hasan Basri. Pada dinding dekat lorong itu, ada tulisan daftar buku tamu. Juru kunci makam, Walijan, 72, setiap hari setia menunggu para peziarah yang datang.

“Hampir setiap hari ada warga yang datang,” cetus Walijan. Walijan mengaku tidak tahu persis asal usul Mbah Wali Abu Hasan Basri. Yang diketahui, Mbah Wali ini seorang pengembara dan penyebar agama Islam dari Cirebon, Jawa Barat.

“Datang ke sini tahun berapa, tidak ada yang tahu,” terang menantu Karto Bario, teman Mbah Wali Abu Hasan Basri. Mbah Wali Abu Hasan Basri ini masih keturunan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon.

Keturunan itu berasal  dari sang ayah Abdul Mu’in dan ibunya Raden Ratna yang dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati, Cirebon. “Jadi garis keturunan beliau ini waliullah,” terangnya. Semasa berkelana dari Cirebon menuju Banyuwangi, Mbah Wali sempat singgah di Gambiran selama dua tahun.

Kemudian, berjalan ke timur hingga sampai di Dusun Sumberkepuh, Desa Kedungwungu, yang dulu masih berupa hutan dan rumah penduduk jarang. Setiba di Sumberkepuh, Mbah Wali bertemu seorang pembajak sawah bernama Abdul Sahid yang konon memiliki tanah cukup luas.

Mengetahui perjuangan Mbah Wali dalam menyebarkan Islam, Abdul Sahid memberi sebidang tanah untuk dibangun musala dan rumah, sebagai tempat tinggal. “Tanah yang diberikan itu ya musala dan makam ini,” kenangnya.

Dalam mengajarkan Islam, Mbah Wali Abu Hasan tidak hanya berada di Dusun Sumberkepuh saja, tapi sering berpindah pindah hingga ke  Desa Sumberberas, dan Dusun Tratas, Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar. Selama tinggal  di daerah untuk berdakwah, Mbah Wali biasanya  membangun masjid dan musala.

“Peninggalannya berupa masjid dan musala masih ada,” cetusnya. Dalam menyebarkan agama Islam, Mbah Wali juga dikenal gigih melawan penjajah Belanda. Setiap pertempuran yang diikuti, selalu menguta makan keselamatan warga. “Setiap tank Belanda akan menyerang rumah Mbah Wali, selalu meleset.

Kalau sasarannya ke Alas Purwo, tank milik Belanda langsung ambles,” kisahnya. Karomah lain yang dimiliki Mbah Wali Abu Hasan, saat berbincang dan duduk bersama tamu dalam satu teko yang berisi air, setelah  dituang ke cangkir atau gelas isinya berbeda-beda sesuai yang dikehendaki para tamu.

“Jadi, isinya bisa kopi, teh, air putih, padahal satu teko,” jelasnya. Karena memiliki karomah itu, warga banyak yang tertarik untuk mempelajari ilmu agama Islam saat itu. Hingga kini, makam tersebut masih menjadi jujugan para peziarah.

Tidak saja dari Banyuwangi, bahkan juga banyak dari luar kota seperti Cirebon, Semarang, Sulawesi, Kalimantan, Madura, dan berbagai kota lain. “Jika malam Jumat manis peziarah penuh di  sini. Ada yang menginap beberapa hari,” ungkapnya. (radar)

Kata kunci yang digunakan :