Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Mencermati Minimnya Animo Penonton

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

SEJAK putaran kedua Divisi Utama versi PSSI Djohar Arifin digulirkan sebulan lalu, animo penonton untuk menyaksikan pertandingan Persewangi di Stadion Diponegoro amat minim. Dari tiga kali laga home yang digelar Laskar Blambangan (sekali laga Copa Indonesia melawan Persipro, dua kali laga Divisi Utama versus PSBI Blitar dan Madiun Putra), penonton yang datang hanya berjumlah ratusan.

Bandingkan dengan laga-laga Persewangi pada putaran pertama Divisi Utama lalu. Penonton yang datang pasti penuh sesak. Tak kurang dari 5.000 hingga 10.000 penonton berdesakaan memadati stadion terbesar di Bumi Blambangan tersebut. Menyikapi menurunnya jumlah penonton yang datang ke stadion, panitia pelaksana sebetulnya sudah me-nyiapkan langkah untuk kembali menggaet para suporter.

Salah satunya dengan memberi potongan harga bagi kalangan pelajar. Jika sebelumnya para penonton dikenai tiket masuk Rp 20 ribu, namun khusus kalangan pelajar, panitia memberi potongan hingga Rp 10 ribu. Nyatanya, meski ketentuan itu sudah diberlakukan saat Persewangi menjamu PSBI Blitar pekan lalu, tetap saja penonton yang datang superminim.

Pertanyaannya, mengapa penonton tidak “segila” saat putaran pertama lalu? Saat itu, panitia pelaksana benar-benar menikmati keuntungan luar biasa. Jika saja penonton yang datang ke stadion berjumlah 5000 orang, dengan harga tiket Rp 20 ribu, maka akan terkumpul dana sebesar Rp 100 juta per pertandingan. Belum lagi penonton yang duduk di kursi VIP yang harganya mencapai Rp 50 ribu. Tentu, perolehan dana tiket yang begitu besar yang diraih pada putaran pertama membuat siapapun berbesar hati.

Membayangkan meraup keuntungan Rp 100 juta hanya dalam sekali pertandingan (Persewangi menjadi tuan rumah sebanyak empat kali), tentu saja pecinta Persewangi akan memiliki anggapan bahwa dengan perolehan tiket sebesar itu, maka Persewangi sudah bisa “dihidupi”. Faktanya, pengurus Persewangi tetap saja teriak-teriak tidak memiliki cukup dana untuk membayar pemain.

Dana sebesar itu dikatakan tidak mencukupi untuk biaya operasional tim kebanggaan Larosmania itu. Para pemain pun tidak menerima gaji selama berbulan-bulan. Imbasnya, beberapa pemain memiliki hengkang ke klub lain. Mereka yang masih bertahan memilh mogok latihan. Kondisi ini tentu saja berpengaruh terhadap permainan di lapangan. Dari tiga kali menjadi tuan rumah, Persewangi hanya bisa memetik hasil seri.

Sedangkan  saat tandang ke markas lawan, Persewangi selalu saja menelan kekalahan. Dan, kekalahan terus-menerus itu sudah mereka terima sejak akhir putaran pertama lalu. Kenangan manis saat mengalahkan Madiun Putra di kandangnya di laga awal Divisi Utama lalu, benar-benar hanya menjadi kenangan. Dalam setiap permainan berikutnya yang dilakoni, Victor da Silva dkk seakan kehilangan jati dirinya.

Inilah yang membuat penonton enggan datang ke stadion. Berita kegagalan Persewangi yang terjadi secara terus-menerus, membuat masyarakat kian antipati untuk menyaksikan tim kebanggaannya bermain. Bisa jadi, mereka sudah dapat menebak hasil apa yang akan diperoleh Persewangi dalam beberapa pertandingan ke depan. (radar)