Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Menganggap Sebagai Ibadah, Rela Keliling Tanpa Honor

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Para-wiyogo-grup-Larasati-memainkan-alat-musik-gandrung-di-atas-mobil-pikap-untuk-membangunkan-warga-sahur-di-Kecamatan-Singouruh-dini-hari

Seniman Banyuwangi Bangunkan Warga untuk Santap Sahur

SUARA lantunan ayat suci Alquran dari pengeras suara di masjid dan musala, baru saja berhenti. Maklum, arah jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Dinginnya angin malam pun mulai terasa menembus pori-pori.

Untuk mengusir dingin terpaksa menutup kepala dengan kain sarung dan mengenakan jaket lengan panjang.  Di tengah heningnya malam, suara  lirih biola, kendang, kempul, dan gong,  seolah memecahkan kesunyian malam.

Suara gamelan musik tradisional khas gandrung, itu terdengar cukup rancak dan merdu. Sesekali suara penyanyi  juga fasih melantunkan lagu berbahasa Osing. Semakin dekat, suara itu semakin  jelas terdengar. Sepintas, suara itu sangat mirip seperti dalam kaset-kaset video compact disc (VCD).

Setelah semakin dekat maka terdengar jelas, suara musik gandrung itu asli yang dimainkan oleh para wiyogo (penabuh gamelan) alat musik tradi sional khas Banyuwangi yang tergabung dalam grup musik Larasati asal Dusun Sukorejo, Desa Lemahbang Kulon, Kecamatan Singojuruh.

Para musisi musik tradisional itu berada di atas mobil pikap, di atas bak mobil itu juga ada seperangkat alat musik gandrung, seperti kendang, kempul (kethuk), gong, biola, dan keluncing. Sebuah pengeras suara, diikat di atas kabin mobil pikap tersebut.

Para wiyogo tampak asyik dan menikmati alunan suara musik gandrung yang mereka mainkan. Seorang penyanyi yang duduk di bak mobil juga tak kalah, dengan memegang mik terlihat larut dalam alunan musik sambil terus bernyanyi lagu khas Banyuwangi.

Sopir pikap terus mengarahkan laju  setir mobilnya dengan keliling kampung  menuju desa-desa yang akan disinggahi. Itulah aktivitas yang dilakukan oleh para seniman grup Larasati selama bulan Ramadan. Dengan sukarela, mereka memainkan alat  musik tersebut keliling kampung untuk membangunkan  sahur.

“Selama bulan Ramadan tidak ada tanggapan (kondangan), dari pada menganggur dan hanya tidur, ikut meramaikan Ramadan dengan membangunkan sahur,” ujar Juwono, ketua rombongan yang juga  penabuh kendang. Kegiatan membangunkan sahur dengan  seperangkat alat musik gandrung itu, sengaja di lakukan oleh grup kesenian itu sebagai bentuk pengabdian dan ibadah.

Mereka rela tidak dibayar atau tidak diberi honor selama keliling membangunkan sahur itu. Para wiyogo mengaku jika dari sekian pertunjukan di luar bulan Ramadan, selalu diberi honor oleh pihak yang mengundang.

“Khusus Ramadan ini menambah amal ibadah dengan cara membangunkan warga untuk makan sahur,” terang Juwono. Sejak terbentuk dua tahun silam, grup  keseniannya sudah dua tahun melaksanakan kegiatan membangunkan sahur keliling  kampung dengan gamelan itu.

Bersama para wiyogo, mereka telah berkomitmen untuk tidak meminta bayaran atau honor apa pun selama sahur keliling. “Paling hanya seceret  kopi saja untuk penghangat badan selama  perjalanan,” terang bapak tiga anak itu.

Juwono bersyukur keinginan untuk membangunkan  sahur keliling itu mendapat dorongan semangat dan bantuan warga di sekitar tempat tinggalnya. Para tetangga ada yang meminjamkan kendaraan untuk keliling kampung secara gratis. Bahkan, masih dibantu berupa makanan dan minuman.

Kegiatan membangunkan sahur keliling itu,  sengaja dipilih selama 15 hari terakhir di bulan  Ramadan. Itu karena memasuki hari ke-15 tidak sedikit warga yang mulai enggan dan   malas untuk bangun dan sahur. Padahal, sahur itu memiliki banyak keutamaan.

Tidak hanya di Desa Lemahbang Kulon,  bersama grup musik tradisionalnya itu juga berkeliling untuk membangunkan warga di enam desa yang ada di Kecamatan Singojuruh, meliputi Desa Alasmalang, Benelan Kidul, Singojuruh, Singolatren,  Padang, dan Cantuk.

Animo masyarakat di enam desa itu juga  sangat tinggi. Selama membangunkan sahur keliling kampung, sama sekali belum pernah mendapat komplain dari masyarakat, meski harus gaduh di tengah malam dengan suara  pengeras suara dan iringan musik yang memekakkan telinga. Warga justru senang dan terbantu dengan adanya kesenian musik  keliling kampung itu.

“Kadang juga ada yang menanggap dan kasih saweran sambil minta menyanyikan beberapa lagu Banyuwangi,” ujar Wana’i, salah seorang penabuh kempul. Selain sebagai tambahan amal ibadah selama bulan Ramadan, melalui kegiatan yang dilakukan itu juga untuk melatih diri memainkan alat musik tradisional khas Banyuwangi, mempererat  silaturahmi, dan kekompakan grup musik.

“Andai semua grup musik di Banyuwangi bisa sukarela seperti ini, mungkin akan lebih semarak,” pungkasnya. (radar)