Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Miris! Satu Sekolah Hanya Tiga Ruang

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

siswa-kelas-v-dan-vi-sdn-5-singojuruh-mengikuti-ujian-dengan-menempati-satu-ruangan-yang-disekat-tripleks-kemarin

Sudah Berlangsung sejak 1980

SINGOJURUH – Kondisi SDN 5 Singojuruh ini tampak cukup memprihatinkan. Di sekolah itu, hanya memiliki satu gedung dengan  tiga ruang untuk kegiatan belajar dan mengajar (KBM). Dengan terbatasnya ruang belajar itu, maka satu ruang dipakai untuk dua kelas dengan  disekat menggunakan tripleks.

KBM yang cukup memprihatinkan di SDN 5 Singojuruh itu, ternyata sudah berlangsung sejak tahun 1980, atau 36 tahun lalu. “Tidak ada ruang lagi,” cetus Kepala SDN 5 Singojuruh,  Hiklima, 49.  Karena terbatasnya ruang untuk KBM itu, terang dia, maka  para siswa dalam belajar itu terpaksa digabung.

Kelas I dengan kelas II dijadikan satu ruang, dan kelas III dengan kelas IV  digabung di satu ruang. “Kelas V dan kelas VI jadi satu dengan sekat tripleks,” ungkapnya. Dari enam kelas yang ada itu, ternyata di sekolah yang ber status negeri itu hanya ada tiga guru yang berstatus pegawai  negeri sipil (PNS). Ketiga guru  itu termasuk guru yang merangkap menjadi Plt kepala sekolah.

“Total ada enam guru, tiga guru  berstatus PNS, tiga guru lainnya  sukwan,” katanya. Gedung dengan tiga ruang yang dibuat untuk KBM itu, terang dia, masih sangat layak. Sebab, pada  tahun 2011 lalu baru mendapat  bantuan rehab. “Kalau gedungnya masih bagus, baru diperbaiki,” terangnya pada wartawan  Jawa Pos Radar Genteng.

Menurut Hiklima, selain gedung yang dibuat untuk KBM  itu, di sekolahnya masih ada satu gedung lagi, yakni perumahan dinas yang kini dipakai untuk ruang guru. Ironisnya, gedung  untuk para guru ini kondisinya  kurang layak karena gentingnya  banyak yang bocor.

“Kalau hujan ya bocor, buku dan dokumen sering basah,” cetusnya. Dengan hanya dua gedung  yang dimiliki itu, di sekolah  yang lokasinya cukup terpencil  dengan luas lahan sekitar 1.080  meter persegi itu tidak memiliki fasilitas penunjang, seperti ruang perpustakaan, ruang unit  kesehatan sekolah (UKS), dan  ruang lainnya.

Meski harus belajar dengan fasilitas yang serba keterbatasan, para siswa di sekolah itu  terlihat tetap semangat dalam  belajarnya. “Kondisi seperti ini kami sudah bersyukur, yang penting anak-anak bisa belajar dengan nyaman,” kata Hiklima.

Hiklima menyebut, jumlah peserta didik di sekolahnya memang sangat terbatas, dari kelas I hingga kelas VI jumlahnya 25  anak, dengan rincian kelas I ada  lima anak, kelas II hanya enam siswa, kelas III ada empat anak, kelas IV hanya tiga anak, kelas  V ada tiga anak, dan kelas VI hanya empat siswa.

Meski jumlah siswa di sekolah ini cukup minim, tapi SDN 5 Singojuruh yang berada di Kampung Wilut, Dusun Kunir,  Desa Singojuruh, itu rasanya juga tidak mungkin kalau ditutup. Sebab, sekolah ini dibangun untuk memfasilitasi warga yang  ada di perkampungan yang berada di di tengah persawahan  dan perbukitan.

“Kalau ditutup, anak-anak bisa tidak sekolah, jarak dengan sekolah lain cukup jauh,” terangnya. Untuk mencapai sekolah itu, masih sulit karena harus melintasi sungai dan bebatuan yang  terjal. Sekolah ini berjarak sekitar empat kilometer dari kantor  Kecamatan Singojuruh.

“Mobil tidak bisa masuk, karena harus  melewati jembatan dengan lebar hanya satu meter, jadi hanya naik motor,” ungkapnya. Tidak beda dengan para siswa, para guru yang mengajar di  SDN 5 Singojuruh itu mengaku  tetap bersyukur dengan kondisi sekolahnya itu. Meski berada di daerah terpencil, tapi dianggap  tidak sampai pelosok.

“Mau dibilang terpencil tapi masih cukup dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan, dibilang maju tapi aksesnya juga masih  sulit,” ujar Setyo Utomo, 57,  salah seorang guru.  Jika turun hujan, untuk menuju kampung itu cukup sulit   karena jalan penuh lumpur dan bebatuan yang licin. Apalagi,  juga harus melintasi jembatan  yang sempit.

“Hanya guru yang  ikhlas yang mau dipindah tugaskan di SDN 5 Singojuruh ini,” terang Setyo Utomo. Setyo menyebut sekolahnya yang mengenaskan itu, rasanya juga tidak mungkin dilakukan  regrouping dengan sekolah terdekat. Selain jarak tempuh ke sekolah terdekat mencapai   dua kilometer dengan jalan  yang cukup sulit, sebagian besar masyarakat Kampung Wilut itu bekerja sebagai buruh tani  dan merantau di Bali.

“Hampir 60 persen anak-anak kami  ini tinggal bersama nenek atau kakeknya. Mereka itu mau sekolah saja sudah beruntung, kalau di regrouping mungkin akan banyak yang tidak sekolah,”  paparnya.(radar)