Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Nuansa Galungan di Kampung Bali

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Umat-Hindu-di-Banyuwangi-kota-merayakan-Galungan-di-Pura-Giri-Natha,-Lingkungan-Kampung-Bali,-Kelurahan-Penganjuran,-kemarin.

BANYUWANGI – Pura Giri Natha yang beralamat di Jalan Ngurah Rai, Lingkungan Kampung Bali, Kelurahan Penganjuran, bersolek menyambut  Hari Raya Galungan sejak pagi kemarin. Satusatunya pura yang terletak di jantung kota Banyuwangi itu dipenuhi umat Hindu.

Mereka melakukan sembahyang di pura dalam rangkaian merayakan Hari Suci Galungan,  yaitu hari raya terbesar dalam memperingati kemenangan dharma (kebaikan) melawan  adharma (keburukan). Umat Hindu, baik pria, wanita, maupun anak-anak, mengenakan  busana adat dominasi warna putih.

Sementara itu, para wanita  menjunjung sesajen (sesaji) untuk  mengadakan persembahyangan. Meski tak seramai di Muncar,  Pesanggaran, dan Purwoharjo,  tapi perayaan Hari Raya Galungan  di Pura Giri Nartha kemarin diperingati  cukup meriah.

Ratusan  umat Hindu di wilayah Banyuwangi  kota dapat memberikan persembahan kepada Sang Hyang Widi melalui sembahyang yang mereka lakukan pada malam hari di Pura Giri Natha. Punjung atau suguhan yang  terdiri atas buah-buahan, air  bunga, dan nasi, diletakkan di pura untuk dipersembahkan kepada leluhur.

Hari Raya Galungan itu juga dimanfaatkan sebagai ajang pertemuan dengan sesama umat Hindu yang selama ini jarang bertemu akibat kesibukan pekerjaan. Mereka juga bersalam-salaman usai melakukan sembahyang  bersama-sama.

I Wayan Artha, mantan ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Banyuwangi, mengatakan peringatan Galungan  di Banyuwangi memang dilakukan secara sederhana. Sebab, proses sembahyang yang dilakukan  umat hanya sekali, yaitu pada malam hari.

“Di tempat lain, baik di Banyuwangi Selatan maupun Bali, pelaksanaan sembahyangnya ada yang dilakukan di pagi hari,’’ jelasnya. Lebih lanjut Wayan mengatakan, inti perayaan Galungan sama saja, baik dari doa maupun tata cara sembahyangnya.

“Pada intinya sama saja, baik di Bali maupun India, caranya sama. Hanya saja di sini masyarakatnya  banyak yang bekerja sebagai   pegawai. Jadi, kita cari waktu  yang paling mudah agar semua  bisa bertemu. Oleh karena itu, sembahyangnya dilakukan di malam hari,” ungkap Wayan.

Di Banyuwangi saat ini jumlah umat Hindu mencapai 108  kepala keluarga (KK). Ketika  perayaan Hari Raya Galungan mereka lebih memilih melakukan  silaturahmi di pura  daripada harus berkeliling ke rumah-rumah.

“Kalau di Sumbersewu,  Muncar, kebia saannya  masih ada seperti simakrama  (open house). Jadi, mereka keliling dari rumah ke rumah,  tapi di sini jumlah umatnya  sedikit. Jadi, memanfaatkan   acara di pura saja, tapi beberapa juga masih ada yang keliling  cuma tidak banyak,” katanya.

Peringatan Galungan dimaknai  umat dengan pendekatan kepada  Sang Hyang Widi. “Makna Galungan  ini adalah peningkatan jiwa spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam semua aktivitas kita dapat melakukan kebajikan,”  pungkasnya. (radar)