Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Pencak Sumping, Atraksi Seni Bela Diri Khas Banyuwangi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Kabupaten Banyuwangi tidak hanya kaya akan tradisi seni dan budaya. Kabupaten ujung timur pulau jawa ini juga memiliki tradisi seni bela diri yakni Pencak Sumping, yang dilestarikan dari generasi ke generasi.

Tiap tahun warga di lereng Gunung Ijen di Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah menampilkan atraksi Pencak Sumping sebagai bagian dari selamatan desa yang diperingati setiap Hari Raya Idul Adha.

Tahun ini, atraksi bela diri Pencak Sumping diangkat dalam rangkaian Banyuwangi Festival. Event ini disaksikan langsung Wakil Bupati Banyuwangi Yusuf Widyatmoko, di Dusun Mondoluko, Banyuwangi, Kamis (23/8/2018).

“Atraksi bela diri Pencak Sumping ini merupakan bagian dari kekayaan tradisi Banyuwangi yang perlu untuk terus dilestarikan. Tradisi ini juga istimewa, karena merupakan seni bela diri yang dikemas dalam atraksi pertunjukkan yang unik makanya tahun ini kami angkat menjadi bagian dalam Banyuwangi Festival,” kata Wabup Yusuf saat membuka event tersebut.

Pada atraksi Pencak Sumping, aksi bela diri Pencak Silat ditampilkan dengan iringan musik tabuh-tabuhan yang rancak. Aksi ini ditampilkan oleh para pendekar anak-anak hingga lanjut usia. Mereka nampak lincah memeragakan gerakan dan jurus-jurus silat, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata seperti pedang, tombak, clurit dan klewang.

Ketua Adat Dusun Mondoluko Rahayis mengatakan, munculnya Tradisi Pencak Sumping tidak lepas dari cerita turun temurun tentang kisah berdirinya Dusun tersebut. Pada zaman penjajahan Belanda, Buyut Ido yang merupakan pemimpin cikal bakal Mondoluko yakni Dusun Tegal Alas, terluka dan tewas saat berduel dengan tentara Belanda. Sejak itu rakyat Tegal Alas berinisiatif untuk belajar pencak silat untuk bela diri.

“Waktu itu Buyut Ido luka sampai terkoyak, hingga akhirnya melatari penamaan Dusun Mondoluko. Sejak itu rakyat rutin belajar silat. Mulai anak-anak sampai dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Sampai sekarang Warga Mondoluko tetap melestarikan pencak silat sebagai bela diri yang di pelajari oleh warga,” kata Rahayis.

Penamaan pencak sumping sendiri, terkait dengan suguhan yang tersaji pada jaman itu yang mengiringi para pendekar saat berlatih.

“Dulu waktu yang laki-laki berlatih, ibu-ibu selalu menyiapkan kue sumping. Di manapun mereka berlatih, pasti suguhan yang keluar adalah sumping,” kata dia.

Sumping adalah makanan khas terbuat dari pisang berbalut adonan tepung yang dikukus, dikenal juga dengan nama nagasari. Makanan ini menjadi suguhan kepada para tamu yang datang saat acara. Bahkan saat atraksi ‘duel’ dua pendekar silat, sumping juga digunakan untuk pengakuan kemenangan. Biasanya pemenang akan menyumpal mulut lawannya yang kalah dengan sumping.

“Kalau sudah sampai ada yang berguling-guling saat duel. Biasanya penonton ada yang melempar sumping. Nanti yang kalah mulutnya akan disumpal sumping oleh pemenang. Tapi ini Cuma untuk hiburan saja yang terus menerus tiap tahun. Makanya namanya Pencak Sumping,” kata dia.

Tradisi tahunan Pencak Sumping ini digelar beriringan dengan tradisi kenduri bersih desa (Ider Bumi) warga setempat. Selamatan ini berlangsung setiap Idul Adha dimana warga melakukan ritual Ider Bumi dan mengumandangkan azan serta membaca istighfar (permohonan ampun kepada Allah SWT) sambil keliling desa.

Malam hari, imbuh Rahayis, warga desa melakukan ritual moco Lontar Yusuf. Dan esok harinya, mereka melakukan solat Ied, Idul Adha.

“Dusun Mondoluko tidak mempunyai kesenian berbeda dengan dusun lain yang punya Gandrung atau Barong. Akhirnya, Pencak Silat yang diiringi dengan musik-musik tabuhan inilah sebagai hiburan pada rangkaian selamatan desa tersebut,” ujarnya.

Sementara itu, salah satu pelatih pencak Sumping, Husaini mengaku seni pencak di desanya berbeda dengan pencak silat di Jawa. Selain beberapa jurus yang berbeda, Pencak Sumping ini mengutamakan seni bela diri.

“Saya senang karena kian hari warga desa yang menekuni seni ini semakin banyak. Saat ini, ada sekitar 50 orang dari usia SD hingga dewasa yang menekuni ilmu ini. Saya merasa tidak perlu khawatir lagi karena masih banyak yang akan melestarikan Pencak Sumping ini,” katanya.