Menguasai Semua Alat Musik Pukul dari Seluruh Indonesia
MENJADI seorang tukang kendang memang sudah menjadi cita-cita Sajidi. Semua itu berawal dari ketidaksengajaan saat dia mencoba-coba alat musik pukul jenis kendang saat duduk di bangku sekolah dasar (SD) dulu.
Dari awal yang hanya sekadar coba-coba, kini menjadi tukang kendang bisa dijadikan profesi tunggal Sajidi. Bahkan, di lingkungan sekitar rumahnya di Dusun Krajan, Desa/Kecamatan Glagah, dia sudah punya embel-embel di belakang nama aslinya. Kini namanya sudah menjadi Sajidi ‘’Kendang’’.
Saat Jawa Pos Radar Banyuwangi menanyakan alamat rumah Sajidi, warga sekitar dengan mudah menunjukkan ancer-ancer rumah Sajidi. ”Ouww, Pak Sajidi Kendang. Rumahnya sanggar tari Laras Wangi itu. Rumahnya pas tikungan,” jelas salah satu warga Desa Glagah.
Saat datang ke rumah Sajidi, segala jenis alat musik tradisional tertata rapi di rumahnya. Apalagi, kendang, jumlahnya tidak sedikit. Ada berbagai macam kendang, mulai kendang Banyuwangi, kendang Sunda, kendang Bali, ketipung, hingga drum.
”Semua alat musik tradisional ada di sini. Di sini kan sanggar tari dan musik, Mas,” ujar pria kelahiran Banyuwangi 26 Desember 1980 itu. Sanggar tari dan musik yang dia miliki bisa dibilang sangat komplet. Banyak kesenian yang dinaungi Sanggar Laras Wangi milik Sajidi.
Kesenian janger, ogoh-ogoh, tari daerah Banyuwangi, untulan, dan orkes kolaborasi musik etnik Banyuwangi, ada di sanggar Laras Wangi yang berdiri tahun 2007 itu. Keahlian Sajidi memukul kendang tidak bisa dianggap remeh. Semua jenis kendang yang dia punya sudah kuasai. Bahkan, dia bisa memaikan ketipung.
Seseorang yang ingin menjadi tukang kendang andal, menurutnya harus peka terhadap suara kendang. ”Satu kendang itu bisa menghasilkan lima jenis suara. Pak, tok, tung, dut, dan dong. Harus dengan perasaan mengendang ini,” ujar bapak satu anak itu.
Selain harus peka, menjadi tukang kendang juga harus cerdas. Meski secara pakem hanya bisa mengeluarkan lima jenis suara, jika seorang tukang kendang cerdas, tentu jenis suara yang dihasilkan satu kendang bisa lebih dari lima. Itu tergantung keahlian tukang kendang tersebut.
Menjadi tukang kendang sudah melekat dalam dirinya. Bahkan, kini dia mempunyai anak didik sampai puluhan orang. Salah satu anak didiknya ada yang dari luar negeri, yakni dari Hungaria. Secara khusus pada tahun 2008 lalu warga negara Hungaria belajar ngendang kepada Sajidi selama sebulan lebih.
”Warga Hungaria itu tiba-tiba datang ke rumah. Dia ingin belajar ngendang kepada saya setelah melihat saya main di Bali,” jelas Sajidi. Tidak hanya lokal Banyuwangi dan nasional, Sajidi juga pernah bermain kendang hingga luar negeri. Beberapa negara, seperti Australia, Korea Utara, Tiongkok, Singapura, dan beberapa negara lain, pernah dia kunjungi.
”Kalau ke luar negeri biasanya diutus Pemkab Banyuwangi untuk tampil dalam sebuah acara dengan grup musik tarinya juga,” terang Sajidi. Menjadi seorang musisi tradisional memang menjadi pilihan hidup Sajidi. Menurutnya, kendang Banyuwangi memiliki perbedaan dibandingkan kendang daerah lain.
Jenis nada yang dihasilkan kendang Banyuwangi dibandingkan kendang daerah lain di Indonesia lebih bervariasi. Untuk menjaga agar pukulan gendang tetap enak didengar, Sajidi selalu melakukan senam ngendang di rumahnya beberapa menit setiap hari.
Meski sedang malas bermain kendang, dia tetap berolahraga ringan dengan tujuan agar tangannya tidak kaku. ”Harus olahraga biar tangan tidak kaku saat main kendang,” terangnya. Dia berharap, kendang Banyuwangi lebih dikenal masyarakat Indonesia dan luar negeri. Dirinya juga berharap Pemkab Banyuwangi mengadakan sebuah festival yang melibatkan pemain kendang Banyuwangi.
”Ya, misalnya sewu kendang, tapi kendang Banyuwangi semua. Pasti seru, dan itu bisa menjadi ajang promosi bahwa Banyuwangi juga memiliki jenis kendang sendiri dan berbeda dengan kendang Sunda,” harapnya.
Bakat seni Sajidi tampaknya juga mengalir di keluarganya. Istrinya, Puji Astuti, yang saat ini berada di Brunei Darussalam menjadi TKI, dulu juga seorang penari tradisional Banyuwangi. Bakat seni itu kini menular kepada anak Sajidi, Jeng Maubi Salusti, 15, yang saat ini masih duduk di bangku SMP. Anaknya sudah aktif menjadi penari seperti ibunya.
”Jadi orang kesenian itu enak lho. Diregani, dipakani, moleh yo disangoni (Dihormati, diberi makan, pulang juga diberi uang),” pungkasnya sambil terkekeh. (radar)