Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Salah Satu Pelopor Pendirian NU dan Ansor

KENANGAN: Kiagus Abdul Azis Saleh menunjukkan foto Kiai Saleh (tengah) bersama empat muridnya.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
KENANGAN: Kiagus Abdul Azis Saleh menunjukkan foto Kiai Saleh (tengah) bersama empat muridnya.

Siapa sangka, salah satu bidan lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) ternyata berasal dari Banyuwangi. Kiai Saleh, putra asli Bumi Blambangan merupakan salah satu formatur pembentukan pengurus NU yang pertama.

LANTUNAN ayat suci bergema dari pengeras suara yang dipasang di Masjid Kiai Saleh, yang berlokasi di tengah perkampungan penduduk, tepatnya di Jalan Enggano, Kelurahan Lateng, Kecamatan Banyuwangi, siang kemarin (14/10).

Di mulut gang menuju masjid tersebut, terpampang spanduk bertuliskan “Haul ke 62 Kiai Saleh Lateng”. Belakangan diketahui, gang itu bukanlah satu-satunya jalan masuk menuju masjid yang cukup megah tersebut. Akses lain menuju Masjid Kiai Saleh adalah melalui Jalan Riau.

Di teras masjid tersebut tampak dua orang paro baya sedang duduk bersila. Salah satunya adalah Kiagus Abdul Azis Saleh. Pria berusia 86 tahun itu adalah satusatunya anak dari 33 putra-putri Kiai Saleh yang masih hidup.

“Mari ke rumah saja. Saya ceritakan sejarah Kiai Saleh di sana, agar tidak mengganggu orang yang sedang mengaji,” ujarnya setelah mengetahui maksud kedatangan wartawan Jawa Pos Radar Banyuwangi. Sesampai di rumah yang berjarak sekitar 50 meter dari masjid tersebut, Azis langsung menceritakan sejarah sang ayah.

Menurut dia, Kiai Saleh adalah sosok yang tegas dan berani dalam menyatakan kebenaran dan keadilan. “Kami, anak-anak, tidak boleh bersekolah yang didirikan penjajah Belanda  Almarhum (Kiai Saleh) juga melarang para santrinya memakai celana, melepas kopiah, dan mengikuti kebiasaan Belanda,” kenangnya.

Dikatakan, sang ayah memiliki nama lengkap Kiagus Mohammad Saleh. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Kiai Saleh diganti menjadi Mohammad Syamsudin. Namun, dalam pergaulan sehari-hari, dia tetap memakai dan menuliskan nama dengan Kiai Saleh.

Karena itu, masyarakat lebih mengenalnya dengan Kiai Saleh. Bahkan, di luar Banyuwangi, dia dikenal dengan nama Kiai Saleh Lateng. Saat Kiai Saleh menetap di Makkah selama enam tahun, tiba-tiba Kiai Moch Cholil, kiainya Kiai Saleh yang berasal dari Bangkalan, Madura itu datang.

Ketika itu, Kiai Cholil Bangkalan mengimbau agar Kiai Saleh segera pulang ke Banyuwangi. “Kamu pulang ke Banyuwangi. Negaramu rusak,” kata Azis menirukan ucapan Kiai Cholilkepada Kiai Saleh.  Singkat kata, saat Kiai Saleh sampai di Banyuwangi, dia mendapati warga Lateng dan sekitarnya saling bermusuhan.

Antar-pendekar pencak silat saling berselisih. Para tukang santet pun saling serang, agar diakui sebagai yang terhebat. Untuk mempersatukan warga yang saling bermusuhan tersebut, Kiai Saleh langsung turun tangan. Para pendekar pencak yang berselisih semuanya dikalahkan.

Dua kubu tukang santet yang saling serang pun dikalahkan dengan ilmu yang sesuai dengan ajaran Islam. Setelah pihak-pihak yang bertikai samasama takluk, Kiai saleh lantas mengangkat mereka sebagai santri. “Karena satu guru, kalian jangan bermusuhan,” ungkap Azis menirukan ucapan Kiai Saleh kepada para santrinya.

Sepak terjang kiai kelahiran Kampung Mandar, Kecamatan Banyuwangi pada tanggal 7 Maret 1862 silam itu tak samp[ai berhenti dampai di situ. Anak dari pasangan Aisyah asal Kelurahan Panderejo, Banyuwangi, dan Kiagus Abdul Hadi dari Palembang itu terus berkiprah.

Pada tahun 1926, Kiai Saleh merupakan salah satu formatur Nahdlatul Ulama (NU) bersama KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. Bahkan, saat hendak menghadiri Muktamar NU di Gedung Al-Khairiah di Kelurahan Singonegaran, Banyuwangi, KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah berdiskusi dengan Kiai Saleh di Musala Kiai Saleh.

Kala itu, para kiai tersebut sepakat membentuk “anak” organisasi NU. Anak NU tersebut merupakan cikalbakal Gerakan Pemuda Ansor. “Masjid tempat semaan (khataman) Alquran itu, dulunya adalah langgar (musala, Red),” terang Aziz menjelaskan bahwa musala itulah yang menjadi tempat pencetusan cikal bakal GP Ansor.

Nah, untuk mengenang jasajasa Kiai Saleh, di tahun 1953, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Banyuwangi mengabadikan nama Kiai Saleh menjadi nama sebuah jalan, tepatnya jalan raya arah timur dari perempatan lampu merah Lateng Banyuwangi. Namun sayang, sejak tahun 1987 hingga sekarang, nama Jalan Kiai Saleh diganti dengan Jalan DI Panjaitan.

Kami bersama masyarakat mendesak pemerintah mengembalikan nama Jalan DI Panjaitan dengan nama Jalan Kiai Saleh. Sebab, Kiai Saleh adalah tokoh pemersatu umat, khususnya orang Osing,” pungkas Azis yang pernah menjabat anggota DPRD Provinsi Jatim pada tahun 1974 sampai 1976 tersebut.(radar)