Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Salat Tarawih Berjamaah dengan Warga NU

TOKOH: Jainudin menunjukkan kalender Aboge di Desa Sragi, Songgon.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
TOKOH: Jainudin menunjukkan kalender Aboge di Desa Sragi, Songgon.

Populasi penganut Islam Kejawen Alif Rebo Wage (Aboge) di Desa Sragi, Kecamatan Songgon, hanya sekitar 20 orang. Itu pun usia mereka rata-rata sudah tua. Seperti apa kehidupan mereka?

-ALI NURFATONI, Songgon-

“MARI silakan masuk”. Begitulah ucapan yang pertama kali terdengar dari mulut Jainudin, 55, saat menerima kedatangan wartawan koran ini Jumat malam lalu (10/8). Setelah mempersilakan duduk di ruang tamu, bapak satu anak tersebut mulai menanyakan maksud kedatangan wartawan koran ini. Setelah itu, kakek lima cucu itu menjelaskan panjang lebar mengenai ajaran Aboge.

Dengan masih mengenakan sarung dan kemeja batik plus songkok hitam, dia mulai menceritakan awal mula lahirnya paham Islam Kejawen. Jainudin menegaskan bahwa ajaran Aboge merupakan ajaran ahlusunnah wal jamaah. Sebab, tata cara dan pelaksanaan ibadah yang mereka lakukan , mulai salat wajib hingga puasa, nyaris sama. Tuhan juga satu, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala.

Aboge juga meyakini bahwa nabi dan rasul terakhir adalah Muhammad Sallallohu Alaihi Wassalam. Pada bulan Puasa, kelompok Abo- ge juga melaksanakan salat tarawihberjamaah dengan orang Islam ma-yoritas dalam satu masjid. Menjadi Imam pada salat sunah itu juga diberlakukan aturan bergilir alias bergantian. Jadi, di lingkungan tersebut nyaris tidak bisa dibedakan mana kelompok Aboge dan warga Nahdlatul Ulama (NU).

Tetapi, seperti tahun-tahun sebelumnya, per bedaan selalu muncul dalam menentukan awal Ramadan dan satu Syawal. Pada tahun 2011 lalu, misalnya, kelompok Aboge mundur sehari dalam menjalankan iba dah salat Idul Fitri. Dalam menentukan jadwal Lebaran, mereka memang bukan tanpa alasan.

Menurut Jainudin, dalam menentukan tanggal satu Syawal, kelompoknya mempunyai pedoman khusus, yaitu kalender Jawa. Dalam kalender sederhana itu menyebutkan, ada delapan jenis tahun dalam satu windu. Satu windu terdiri atas tahun alif, ha, jim, awal, za, dal, ba, wawu, danjim. Dalam setahun sama dengan almanak pada umumnya, yaitu terdiri dari atas 12 bulan. Dalam sebulan juga ada istilah pasaran, yaitu pon, wage, kliwon, legi, dan pahing. ’’Mes ki beda, kami selalu rukun dan saling menghormati,” ujar Jainudin.

Di kampung tersebut, ajaran Aboge tidak banyak berkembang. Jainudin mengakui, para pemuda sulit diajak belajar ajaran itu. Padahal, pemahaman keislaman sangat penting di masa mendatang. Setidaknya, dengan belajar agama bisa menghilangkan kebodohan. “Aboge di sini semua orang tua, kalangan pemuda gakada yang ikut,’’ ujarnya.

Kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi,pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu mengakui bahwa kini para pemuda sudah mulai kehilangan jati diri. Suatu contoh, banyak pemuda yang tidak tahu sama sekali tentang kalender Jawa. “Anak-anak sekarang cuma tahu kalender umum. Pasaranhari seperti pondan wage, mereka tidak tahu,” jelasnya. Dia menilai, para pemuda masa kini me-mang sudah sulit diajak mengenal kembali sejarah.

Kini, mayoritas pemuda sudah asyik dengan dunia ponsel dan komputer. ’’Memang dunianya sudah berganti seperti ini, mau gimanalagi. Makanya, sekarang cuma orang-orang tua yang ikut kelompok Aboge. Kira-kira ada 20 orang. Kalau de ngan perempuan ada sekitar 30 orang,” te rangnya. Mayoritas penganut Aboge, terang dia, masih dalam satu keluarga. “Semua pengikut Aboge di sini masih ada hubungan keluarga.

Imam masjid kami itu kakak saya,” sebutnya. Sepengetahuannya, di mana-mana eksistensi kelompok Aboge sudah banyak berkurang. Bahkan, di tempat tertentu ada yang habis tanpa penerus. Regenerasi putus lantaran modernisasi. ‘’Di Kaliputih (Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, Red) sekarang sudah tak ada sama sekali. Tetapi, di daerah lain, seperti Kalibaru, Muncar, Sempu, sampai sekarang masih ada tapi sedikit,” ucapnya.

Menurut Jainudin, pusat Aboge di Banyuwangi adalah Kecamatan Kalibaru. Namun, kini pertumbuhan penganut Aboge di wilayah itu sudah menurun. ’’Yang saya tahu, sejak dulu pusatnya di Kalibaru,’’ kata lelaki murah senyum itu. Dia juga menyayangkan sikap radikalisme yang marak terjadi di Indonesia, seperti bom bunuh diri yang menewaskan ratusan jiwa. “Kami tidak suka cara-cara seperti itu. Kita saja belum tentu benar, kok sudah menuduh orang lain salah,” tuturnya.

Sementara itu, para tetangga mereka sudah mengetahui kebiasaan penganut Aboge saat Lebaran. ’’Biasanya salat Id-nya akhir-akhir. Gaktahu sekarang mundur ataukah bareng (bersamaan, red),” ujar Khusaini, tetangga Jainudin. Sekadar tahu, penganut Islam Kejawen di Dusun Bongkoran, Desa Sragi, Kecamatan Songgon, sudah memastikan diri akan merayakan Lebaran pada Senin Legi 20 Agustus 2012 mendatang. (radar)