Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Sebuah Catatan dari Negeri Syam

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
H.M. Riza Aziziy Hisyam Warga Banyuwangi, pernah tinggal di Jordania. Saat ini sedang ziarah ke Yaman.

CATATAN sederhana ini merefleksikan perjalanan yang saya lakukan sejak pertengahan 2008 ke sebuah negara di daratan Syam yang belum terlalu saya kenal, yaitu Jordania. Terasa asing memang mendengarkan nama negara ini, apalagi untuk tujuan belajar agama. Sebab kita lebih awam dengan negara-negara seperti Mesir, Yaman, Sudan, Syria, Maroko dan Libya.

Setidaknya, ada empat alasan yang mendorong saya untuk memilih Jordania. Pertama, saya bisa langsung mengambil program magister usai menyelesaikan program S1 di STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang, asuhan Dr. KH. Hasyim Muzadi. Artinya, ijazah lulusan program S1 di luar Jordania bisa disetarakan melalui program penyeteraan ijazah.

Ini menjadi perhatian saya. Sebab banyak negara khususnya Timur Tengah yang tidak menerapkan kebijakan serupa. Alhamdulillah, pada September 2008 saya bisa langsung masuk Program Magister Universitas Yarmouk jurusan Ekonomi dan Perbankan Syari’ah. Alasan kedua, sistem pendidikan di Jordania telah menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang berkembang dewasa ini dan didukung oleh kebijakan pemerintah yang pro pelajar dan pendidikan.

Jordania juga menawarkan banyak program studi. Bukan saja untuk belajar agama melainkan juga kedokteran, fisika, kimia, dan berbagai jurusan eksakta  ainnya. Alhasil, banyak pelajar dari kawasan Asia Tenggara, Afrika, Timur Tengah hingga Eropa Timur yang belajar di negara yang menjadi tempat terjadinya perang Mu’tah, Yarmouk, dan benteng perang pembebasan Masjidil Aqsa oleh Salahuddin al-Ayubi ini.

Alasan ketiga, stabilitas politik dan keamanan di Jordania sangat terkendali sekalipun dikelilingi oleh negara-negara yang rentan terhadap potensi konflik. Di sebelah utara berbatasan dengan Syria, di sebelah selatan berbatasan dengan Mesir, di sebelah tenggara berbatasan dengan Arab Saudi, di sebelah timur berbatasan dengan Irak, dan barat berdempetan langsung dengan Palestina-Israel. Tak heran, Jordania pun menjadi negara dengan jumlah pengungsi terbanyak di dunia akibat konflik yang kerap terjadi di negara tetangga.

Alasan keempat, Islam di Jordania tidak berbeda jauh dengan Indonesia. Yaitu berhaluan ahlussunnah waljama’ah. Banyak ulama sunni di Jordania yang mengajar di universitas maupun di masjid-masjid, seperti, Dr. Abdul Malik Sa’di, Syekh Mustafa Zarqa, alm. Syekh Nuh Qudah, dan Syekh Abu Islam adalah sederet ulama yang rajin menyapa masyarakat melalui pengajian. Bagi saya ini adalah alasan terpenting kenapa saya memilih Jordania.

Banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan saat belajar di Jordania. Baik di universitas maupun dalam sosial kemasyarakatan. Contohnya, setiap tahun pihak universitas selalu menyelenggarakan “Pekan Pameran Mahasiswa Internasional” yang diikuti oleh seluruh mahasiswa asing. Acara tersebut merupakan ajang bagi seluruh mahasiswa asing untuk mengenalkan budaya, adat-istiadat, bahasa hingga masakan negaranya. Angklung, batik, keris, rendang, dan bakso adalah nama-nama yang biasa diucapkan mahasiswa asing saat mereka menyapa kami.

Bukan hanya mahasiswa saja yang mempunyai program mengenalkan Indonesia, KBRI dan masyarakat Indonesia juga mempunyai program serupa yang dilakukan secara massif dan konsisten. Hingga suatu saat stasiun TV pemerintah berkenan mengundang perwakilan masyarakat Indonesia guna menjelaskan keragaman budaya Indonesia melalui layar kaca. Rasanya sangat bersyukur bisa menjadi duta  bangsa dalam kapasitas kami.

Pengalaman berikutnya yang saya dapatkan adalah pada saat diminta oleh pihak KBRI membantu menyelesaikan kasus dan pemulangan masal Tenaga Kerja Indonesia (TKI) khususnya sektor informal. KBRI merasa perlu bantuan mahasiswa karena Satgas Penanganan Kasus TKI yang dibentuk oleh KBRI masih kekurangan personel, sementara persoalan TKI sudah sangat kompleks dan perlu secepatnya dituntaskan.

Selama tiga bulan kami bekerja penuh membantu menyelesaikan berbagai acam persoalan TKI. Mulai yang terjangkit penyakit menular, penanganan kasus hukum, persoalan keimigrasian, hingga pemulangan masal. Secara bertahap kasus per kasus pun dapat diselesaikan dengan baik. Sejak saat itu penyelesaian persoalan ketenagakerjaan mengalami kemajuan berarti. Termasuk moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk pengiriman TKI ke Jordania.

Pengalaman yang paling berkesan adalah saat keluarga besar KBRI Amman berkunjung ke Palestina di mana saya termasuk di dalamnya. Tidak kurang lima puluh orang ikut serta dalam ziarah yang bertepatan dengan libur Idul Adha itu. Pagi itu, kami menempuh perjalanan darat selama tiga jam dari ibu kota Jordania, Amman, ke perbatasan Jordania-Israel di Jordan Valley.

Setelah melalui pemeriksaan imigrasi yang melelahkan selama enam jam di check point Israel, akhirnya malam itu kami sampai juga di sebuah hotel di sekitar Masjidil Aqsa. Setelah cukup waktu untuk tidur, menjelang subuh kami menuju Masjidil Aqsa untuk melaksanakan salat subuh di sana. Sampai di pelataran masjid, kami banyak menjumpai polisi Israel men-sweeping wajah-wajah asing yang hendak salat di masjid termulia ketiga di dunia ini.

Saat itulah mereka memeriksa dan meminta kami membaca surat Al-Fatihah. Itu adalah pengalaman cukup “berharga” yang kami dapatkan selama berkunjung ke sana. Usai salat subuh, saat rombongan memilih pulang ke hotel, saya bersama dua kawan memilih tinggal di masjid sembari mengikuti halaqah kecil yang dilaksanakan oleh tiga kelompok pengajian yang berbeda.

Mereka mengaji tafsir, hadits, fiqh, hingga tarikat. Dan, itu dilakukan secara istiqamah setiap usai melaksanakan salat subuh. Dari halaqah itu saya menemukan cerita terdapat tiga ratus ribu warga Palestina tinggal di sekitar Masjidil Aqsa dan Jerusalem. Mereka mengeluhkan pengusiran aparat Israel dari rumah-rumahnya dan diskriminasi yang dilakukan oleh pejabat Israel dalam mendistribusikan air bersih dan pengurusan administrasi kependudukan, seperti akta kelahiran, KTP dan lainnya.

Namun, mereka juga mengatakan tidak akan putus asa untuk terus berjuang membebaskan diri dari jajahan Israel itu. Kami tidak hanya berkunjung ke Jerusalem saja. Tapi juga sampai ibu kota Israel, Tel Aviv. Ada pemandangan yang membuat kami kagum ketika sampai di tepi Laut Mediterania, pinggiran Kota Tel Aviv. Di situ kami melihat sebuah masjid. Bergegas kami turun dari bus dan mencari takmirnya untuk menjawab kekaguman sekaligus rasa penasaran di hati kami. Setelah bertemu dengan takmir, dia pun bercerita tentang riwayat masjid itu.

“Masjid ini bernama Hasan Beik yang diwariskan oleh umat Islam yang tinggal di kawasan ini sebelum datang intifada Israel pertama pada tahun 1948. Aparat Israel beberapa kali berusaha membongkarnya. Tapi umat Islam yang tinggal di kawasan ini terus berusaha mempertahankannya dengan cara melakukan protes keras dan diplomasi. Alhamdulillah seperti yang kita saksikan, masjid ini masih tegak berdiri menjadi tempat ibadah kami,” terang sang takmir.

Kemudian kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan menuju Jordania melewati kota industri Israel di Haifa dan Danau Tobaria, yang konon dalam riwayat sebuah hadits, airnya akan diminum oleh Ya’juj dan Ma’juj di akhir zaman nanti. Cerita di atas adalah sekelumit kisah perjalanan hidup saya di Jordania dalam rentang waktu tiga tahun. Semoga ada secuil hikmah yang bisa dipetik guna memberikan nilai lebih pada hidup kita. Amin. Wallahu a’lamu bi as-sowab. (radar)

Kata kunci yang digunakan :