RUMAH biara di Jalan Agung Suprapto 80, Banyuwangi, ini dibangun pada tanggal 28 September 1956. Namun, rumah biara ini baru ditempati dan diberkati pada 10 Februari 1957. Awalnya, pada tanggal 12 Agustus 1950 sekitar pukul 14.30, tiga orang suster datang ke Banyuwangi dari Jember untuk menjalankan tugas sebagai pendidik. Mereka adalah Moeder Henrica Maria, Sr. Maria Mediatrice, dan Sr. Maria Clementia.
Dulu ketika para suster belum menempati tempat tinggalnya, para suster Katolik di Banyuwangi lebih banyak tinggal di rumah-rumah para pastor di Banyuwangi. Para suster Katolik itu dulu diketuai seorang suster Belanda bernama Moeder M. Oda.
Bangunan biara Katolik itu masih sangat terawat hingga kini. Bangunan utama menghadap ke arah selatan dan berada di tepi Jalan Jaksa Agung Soeprapto. Di sebelah barat bangunan utama ada paviliun untuk para tamu yang menginap.
Paviliun itu menghadap ke timur. Di sebelah utara paviliun terdapat kapel. Bangunan kapel itu merupakan bangunan baru, dibangun jauh setelah bangunan utama berdiri. Meski tidak terlalu besar, tapi suasana dan kondisi biara tersebut sangat nyaman untuk ditinggali.
Di sekeliling biara tumbuh berbagai macam bunga dan tanaman-tanaman hias lai, serta beberapa pohon peneduh yang membuat biara semakin asri. Di sebelah barat rumah biara itu berdiri sekolah Katolik yang dibangun oleh perkumpulan orang Tionghoa sebelum perang kemer dekaan pecah. Inilah yang dimaksud aktivitas “kebiaraan” sudah dimulai sejak zaman kolonial, atau zaman sebelum Indonesia merdeka.
Waktu itu sekolah tersebut hanya khusus murid-murid Tionghoa. Kemudian, di masa perang kemerdekaan pecah, sekolah itu ditutup dan sesudah perang di buka lagi. Setelah merdeka, bangunan sekolah itu dulu terdiri atas empat ruangan dan letaknya di perkebunan kelapa yang luas milik N.V de N.I.M.A.F.
Sekolah itu dibangun kembali pada tahun 1950-an. Sementara itu, Sr. Inigo, ketua Komunitas Banyuwangi Santa Perawan Maria, menyebut pada zaman kolonial di Banyuwangi sudah ada komunitas kecil umat Katolik. Sudah ada gereja kecil dan kepasturan.
Salah satu pastor yang tercatat dalam sejarah umat Katolik Banyuwangi adalah Pastor Singgih. Di komunitas tersebut juga tercatat seorang Tionghoa Katolik bernama Liem Gie Tjie. Liem Gie Tjie adalah seorang pedagang sekaligus pemilik kebun tembakau.
Namun, Liem Gie Tjie ini lebih berperan sebagai pelayan umat daripada seorang pedagang. Dia mengabdi bersama pastor Singgih. ”Mereka berdua mengabdikan diri untuk gereja” ujar Sr. Inigo. Saat ini rumah biara tersebut masih dihuni lima suster.
Selain lima suster, di sekitar rumah biara tersebut juga didirikan asrama bagi para pelajar yang sekolah di sekitar rumah biara tersebut, seperti SDK Santa Maria, SMP Santo Yusuf, dan SMAK Hikmah Mandala. ”Rumah tetap kita rawat. Penghijauan juga terus kita lakukan agar rumah biara ini tetap nyaman. Kegiatan kami di sini juga sebagai pendamping para siswa yang tinggal di asrama,” pungkas suster yang juga sebagai kepala SDK Santa Maria itu. (radar)