Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Sepakat RAPBS Diteken Kadispendik

DISKUSI: (Dari kiri) Kadispendik Sulihtiyono, Prof Syaat, Wahyudi, Siswaji, dan Husin Matamin di Pendapa Swagata Blambangan kemarin.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
DISKUSI: (Dari kiri) Kadispendik Sulihtiyono, Prof Syaat, Wahyudi, Siswaji, dan Husin Matamin di Pendapa Swagata Blambangan kemarin.

BANYUWANGI – Permendiknas Nomor 60 Tahun 2011 tentang larangan pungutan di SD dan SMP kembali men-jadi topik hangat dalam sarasehan Hardiknas yang di-helat di Pendapa Shaba Swagata Blambangan kemarin. Lahirnya peraturan tersebut masih menjadi dilema di ka-langan pengelola pendidikan.

Hal itu diungkapkan Ketua LKBH PGRI Banyu-wangi, Achmad Wahyudi, di depan sekitar 200 lebih peserta sarasehan. “Pungutan memang di-larang, tapi satu sisi ada aturan yang menjelas-kan peserta didik wajib menanggung biaya pen-didikan,” kata Wahyudi. Terkait dilema tersebut, mantan ketua DPRD Banyuwangi itu mengusulkan agar pemerintah lebih produktif dalam membuat produk-produk hukum terkait dunia pendidikan.

Kedua, pemerintah harus membuat pedoman terkait tata tertib di masing-masing sekolah. “Agar Permendiknas tersebut tidak membingungkan, peme-rintah daerah harus membentuk perda penye-lenggaraan pendidikan dan dilanjutkan dengan perbup,’’ saran Wahyudi. Bukan hanya terkait Permendiknas, dalam sa-rasehan kemarin juga tercetus usul terkait le-galitas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Biaya Sekolah (RAPBS) dan Rancangan Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RAKS).

Jika selama ini RAPBS dan RAKS diteken sekolah, Wahyudi menghendaki agar ditandatangani langsung Ke-pala Dinas Pendidikan. Usul Wahyudi itu langsung diamini Kadispendik Sulihtiyono. “Bagi kami, itu merupakan anugerah. Dengan diteken dinas, kami bisa mengontrol pelaksanaan RAPBS dan RAKS. Kami setuju usul itu,” kata Sulihtiyono yang disambut tepuk tangan peserta sarasehan. Sarasehan yang berakhir pukul 13.00 itu menjadi ajang curhat para guru. Bahkan, sejum-lah guru SD, SMP, dan SMA, menumpahkan unek-uneknya terkait problematika pendidikan di Bumi Blambangan.

Ririn, salah seorang kasek SD yang pernah mengajar di daerah terpencil, mengungkapkan potret dunia pendidikan. Di era Bupati Ratna Ani Lestari, Ririn pernah “di-buang” ke sekolah terpencil. Diungkapkannya, saat ini sekolah-sekolah di desa terpencil masih banyak yang kekurangan guru. “Satu lembaga sekolah ada enam rombo-ngan belajar. Di sana cuma ada 1 guru olahraga, 1 guru kelas, dan 1 kasek, dan dilengkapi GTT.

Kondisi seperti itu masih terjadi di Banyuwangi,’’ ungkap Ririn. Keluhan serupa juga diungkapkan Gatot Santoso, salah seorang guru SMP dari Pesanggaran. Saat ini, di tempat dia mengajar hanya ada 4 guru PNS dengan tiga rombongan belajar. “Kekurangan guru sampai sekarang belum terpenuhi. Problemnya lagi, untuk menuju sekolah, kami harus menempuh jarak 70 km tiap hari,” beber Gatot. Unek-unek terkait sarana dan prasarana pendidikan juga diungkapkan Mujiono, Kasek SMAN 1 Giri.

Meski sekolahnya sudah menyandang RSBI, sarana-prasarana dan pembiayaan masih kurang. Untuk menyiasati kondisi tersebut, pihaknya terus meningkatkan kerja sama dengan komite sekolah. “Dukungan komite se-kolah sangat kami butuhkan demi kemajuan se-kolah kami,” tandas Mujiono. Menanggapi keluhan peserta sarasehan, Ka-dispendik Sulihtiyono menjelaskan panjang-lebar problem pendidikan di Banyuwangi.

Menurut Sulih, ada tiga pilar yang bisa memajukan pen-didikan, di antaranya pilar pemerataan/perluasan akses. “Tugas kita memberikan kelayakan kepada masyarakat. Pemerintah tidak boleh pandang bulu dalam memberikan pelayanan,’’ tegas Sulih. Dia mencontohkan, untuk masyarakat di desa terpencil, pemerintah telah mendirikan SD satu atap. Bentuk layanan lain adalah memberikan bantuan lewat APBN dan BOS. Saat ini, kata Sulih, BOS untuk SD Rp 48 ribu per anak, untuk SMP Rp 59 ribu per anak.

“Dana itu sudah cair sekitar Rp 5 triliun,’’ tandasnya. Pilar kedua, lanjut Sulih, adalah keseimba-ngan anggaran. Diakuinya, saat ini di Banyuwangi kekurangan 1.500 guru SD. Tiap bulan se-kitar 500 guru memasuki masa pensiun. Sebab, guru-guru yang purna tugas itu diangkat lewat Inpres Tahun 1970. “Nanti untuk mengatasi ke-kurangan itu, bisa jadi pendistribusian guru yang lebih di kabupaten A bisa digeser di kabu-paten B,’’ ujar Sulih.

Dalam melakukan mutasi guru tentu tetap me-ngacu pada aturan. Pihaknya juga memperha-tikan sektor  gender dan jarak tempuh. “Jarak tempuh tidak boleh lebih dari 15 km. Guru wa-nita kita tempatkan tidak jauh dari rumahnya. Lihat saja, hampir 75 persen guru wanita kita tempatkan di kota,” papar Sulih. Dalam kesempatan tersebut, Sulih juga membeberkan program bidik misi, yaitu program beasiswa di perguruan tinggi negeri untuk mahasiswa miskin tapi cerdas.

Biaya kuliah per bulan Rp 400 ribu ditambah biaya hidup Rp 600 ribu. “Program ini sudah berjalan selama setahun,’’ ujarnya. Dia menambahkan, bagi warga miskin yang tidak cerdas disediakan dan BKSM (dana bantuan khusus siswa miskin). Sarasehan yang dihadiri seluruh elemen pendidikan kemarin itu berlangsung  gayeng. Mulai guru, kasek, kepala UPTD, korwas, MKKS, rektor, LSM, dan dewan pendidikan, datang. Sarasehan  bertema “Membangun Pendidikan Berkualitas Menuju Banyuwangi Cerdas Berakhlak dan Prorakyat” itu diprakarsai PGRI Banyuwangi dan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Forum Kemisan Radar Banyuwangi.

Narasumber yang hadir adalah Kepala Di-nas Pendidikan Sulihtiyono, Ketua LKBH PGRI Achmad Wahyudi, dan  Prof. Dr. Ir. Syaat Dipan-tara (tim ahli BSNP Kemendikbud). “Alham-dulilah sarasehan berlangsung sukses. Harapan kami, kegiatan ini bisa meningkatkan mutu la-yanan pendidikan di Banyuwangi. Acara seperti ini memang perlu diintensifkan,’’ kata Ketua PGRI, Husin Matamin, didampingi sekretaris, Siswaji. (radar)

Kata kunci yang digunakan :