Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Siaga UN

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

T AHUN lalu (dan tahun-tahun sebelumnya) saya hanya mendengar. Tapi tahun ini saya mengalami sendiri. Merasakan langsung apa yang dialami oleh para wali murid kelas VI SD. Mungkin juga orang tua siswa kelas IX (tiga SLTP) dan kelas XII (tiga SLTA).

Ternyata memang repot sekali. Ribet. Sangat menyita waktu dan perhatian. Sedikit saja curahan perhatian berkurang, anak akan limbung. Goyah mentalnya. Dan, dampak terjeleknya, jatuh sakit. Betapa tidak enaknya menjadi anak kelas VI sekarang –juga kelas IX dan XII, barangkali. Anak saya harus masuk sekolah pukul 05.30.

Karena sekolahnya full days , jam pulangnya lebih panjang dibanding adik-adik kelasnya. Yakni, pukul 15.10. Tambahan jam awal dan akhir itu digunakan untuk les tambahan. Pengayaan materi pelajaran.

Terutama tiga pelajaran yang akan diUN-kan: matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia. Belum lagi harus mengikuti les di bimbingan belajar seperti yang dilakukan oleh anak-anak lain. Celakanya, memasuki semester II giliran dihajar jadwal tryout yang seperti tak ada habisnya.

Mulai tryout sekolah, lembaga bimbingan belajar, kecamatan, kabupaten, dan yang lainnya. Selain itu, juga harus menyiapkan diri untuk beberapa ujian. Ada ujian tengah semester (UTS), ujian umum bersama (UUB), dan UAS (ujian akhir sekolah).

Menjelang UN (ujian nasional) pekan kedua Mei nanti, masih harus menjalani ujian praktik IPA, Penjaskes, dan bahasa Indonesia. Sangat melelahkan, bukan…Padatnya jadwal itu menuntut saya bersama istri memosisikan diri tidak cukup sebagai orang tua. Lebih dari itu. Kami memerankan diri menjadi dokter pribadi yang terus memantau kondisi fisik anak kami.

Mengontrol makannya; selain kualitas gizinya juga jadwalnya. Mengawasi dan menjaga agar selalu sehat. Fit. Lengah sedikit saja bisa berakibat fatal. Jatuh sakit dan tidak bisa mengikuti rangkaian jadwal yang ‘kurang manusiawi’ tadi. Sebagai orang tua anak kelas VI, kami juga dituntut menjadi teman yang baik bagi si buah hati.

Bisa Anda bayangkan, seperti apa kondisi psikologis anak yang berangkat pukul 05.30 dan pulang 15.10. Rasanya, tidak tega setiap kali melihat anak pulang sekolah dengan kondisi yang sudah ‘habis’. Itu sebabnya, kami harus pandai-pandai menghiburnya dan siap menerima curahan hatinya.

Setiap hari, kami melihat raut kejenuhan menggelayut di wajah anak kami saat datang dari sekolah. Dalam kondisi seperti itu, mana ada orang tua yang tega memaksa anaknya untuk belajar di malam harinya. Tidak ada jalan lain kecuali membiarkannya ketika dia memilih membaca komik Jepang Mikko kesukaannya dan buku sains ‘‘ Why ?’’ .

Dalam kondisi yang sudah diliputi kejenuhan melihat buku pelajaran, maka membaca komik dan ‘’ Why ?’’ bisa menjadi jalan keluar untuk refreshing . Makan saja kalau dari hari ke hari akan mengakibatkan kejenuhan. Apalagi, pelajaran atau ilmu. Kalau setiap hari ke hari hanya itu-itu saja yang dihadapi, lama-lama bisa jenuh juga.

Kenapa sekolah sekarang begitu membebani anak didik. Jawabannya hanya dua
kata: GENGSI bin AMBISI. Semua sekolah merasa gengsi kalau hasil UN siswanya jeblok. Banyak siswanya tidak lulus UN. Perasaan seperti itu cukup wajar. Sebab, sekolah menjadi bagian ambisi dinas yang memayunginya.

Sekolah dituntut dinas pendidikan dan kebudayaan sebagai ‘atasannya’. Demi nama baik daerah, demi nama baik dinas, dan demi nasib kepala dinas, maka nilai UN siswa di semua sekolah harus bagus agar nilai rerata kabupaten/kotanya tinggi.

OK-lah kalau memang begitu tuntutannya. Hanya caranya yang kurang bisa diterima akal sehat. Memaksa siswa memforsir pikiran untuk mengikuti bermacam-macam ujian dan try-out yang bermacam-macam dalam waktu efektif kurang lebih empat bulan (semester II kelas VI) demi UN, sangatlah tidak bijaksana.

Mengoptimalkan sistem, pola, dan cara mengajar guru jauh lebih baik. Misal, pelajaran kelas IV harus dikuasai dengan benar sebelum siswa naik kelas IV. Demikian seterusnya. Kalau ada siswa yang belum atau bahkan tidak bisa menguasai pelajaran di kurikulum kelas IV, tidak boleh dinaikkan.

Dia harus tinggal kelas hingga benar-benar menguasai semua pelajaran kelas IV. Tidak boleh ada toleransi. Bagi siswa yang menguasai semua pelajaran kelas I sampai VI, UN akan dianggap sebagai sego-jangan . Meski tanpa try-out-try-out -an, semua soal UN akan dilahap dengan mudah.

Sejarah telah membuktikan. Dulu, sejak SD sampai SMA saya dan banyak teman (juga pembaca, barang kali) tidak kenal istilah try-out , tapi dengan percaya diri kami melahap soal-soal UN yang dulu namanya EBTANAS (evaluasi tahap akhir nasional). Hasilnya juga bagus-bagus. Lulusannya juga banyak yang sukses: menjadi PNS, menjadi petinggi TNI dan Polri, direktur perusahaan, dll., dlsb., dan dst.

Kenapa bisa seperti itu. Kuncinya ada di guru. Dulu, guru sangat disiplin menegakkan amanah kurikulum. Dulu, konsentrasi guru benar-benar total. Tidak ada guru yang berpolitik. Tidak ada guru yang nyambi ke sana ke mari. Perhatian guru hanya satu, yakni, memintarkan murid dan memajukan sekolah.

Itu saja. Dinas pendidikannya juga sama tujuannya: memajukan siswa, guru, dan sekolah. Wa ba’du . Anda yang memiliki anak belum kelas IV SD, cukup membayangkan isi tulisan ini. Sama seperti dulu ketika saya hanya bisa mendengar curhat para wali murid kelas VI saat itu. Tapi, mudah-mudahan, saat anak Anda sudah kelas VI kelak, sistem pendidikan (terutama seputar standar kelulusan) sudah berubah. Amiin…. ([email protected])