BUANG terlihat sibuk memanggang besi di atas bara api siang itu. Dibantu istri tercintanya, Isnaiyah, pria berusia 47 tahun itu sesekali membolak-balik besi yang akan dipoles menjadi golok. Pada saat bersamaan, Isnaiyah juga sibuk memoles gagang pisau berbahan kayu.
Pasangan suami-istri itu bekerja sama memproses besi menjadi senjata tajam (sajam) tradisional. Buang termasuk salah satu perajin pandai besi yang masih bertahan hingga kini. Dia sudah cukup lama menekuni pembuatan sajam tradisional tersebut. Dia sudah menggeluti profesi itu sebelum menikah.
Hingga kemarin Buang tetap menikmati pekerjaannya itu dengan penuh syukur. Sebab, usaha memproduksi aneka macam sajam tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dalam kondisi apa pun, dia tidak mau berpindah haluan. Itu karena pekerjaannya itu telah berlangsung turun-temurun di kampungnya, Dusun Kendal, Desa Sumberbaru, Kecamatan Singojuruh.
Kata Buang, dulu di kampungnya hanya ada satu orang pandai besi. Tetapi, saat ini tukang pandai besi semakin banyak. Buang bisa memproduksi aneka macam sajam tradisional, seperti pisau, golok, parang dan cangkul. Dia sanggup memproduksi alat-alat tersebut sesuai pesanan.
Selama ini Buang memasok barang-barang produksinya itu ke berbagai daerah. Itu tergantung permintaan dari para pengepul dan agen. ‘’Sudah ada agen yang siap menampungnya,” ujarnya ditemui di tempat kerjanya kemarin pagi. Golok produksi Buang bukan hanya untuk memenuhi pasar lokal Banyuwangi. Menurut Buang, hasil produksinya juga ke rap dikirim ke luar daerah di Jawa Timur.
‘’Misalnya dapat order dari Tulungagung,’’ tandas pria berusia 47 tahun itu. Dalam sehari Buang mengaku bisa memproduksi puluhan golok. Untuk jenis golok, Buang bisa menyelesaikan 24 buah. ‘’Kalau golok bisa segitu, tapi kalau pisau bisa sampai 35 buah,” imbuhnya.
Kesulitan pengolahan besi menjadi sajam bervariasi. Tingkat kesulitan itu tergantung jenis sajam yang hendak diproduksi. ‘’Memang pisau dapur lebih cepat,” ujarnya. Buang mengaku mendapatkan bahan baku dari salah satu toko di Srono. Karena masih tradisional, maka Buang membutuhkan kayu bakar dan arang.
‘’Kalau arang sudah punya langganan,” tukasnya. Sebagai tukang pandai besi, Buang dituntut menjaga kualitas hasil produksinya. Sebab, dia harus bersaing dengan produk pabrik. Ternyata bukan hanya Buang saja yang menekuni usaha pandai besi. Sebab, banyak warga di kampung- nya yang meng gantungkan hidup dari hasil produksi pandai besi.
‘’Walaupun banyak, tapi setiap tukang pandai punya label sendiri- sendiri,” kata Buang. Keuntungan yang didapat dari menjadi pandai besi memang dianggap cukup. Estimasi biaya operasional dalam sehari rata-rata Rp 200 ribu. Pengeluaran itu untuk membeli besi, arang, dan bahan penghalus besi alias mata gerinda.
‘’Satu buah golok harganya Rp 20 ribuan. Ya, lumayan masih bisa untung,” bebernya. Tukang pandai besi lain, Hariyadi, juga sudah cukup lama menekuni pekerjaan yang sama. Dia juga piawai memproduksi sajam tradisional. ‘’Orang-orang sini libur kerja hari Jumat,” kata bapak satu anak itu.
Menurut dia, di kampungnya memang banyak yang menjadi usaha pandai besi. Meski begitu, setiap tukang bersaing dengan sportif. ‘’Karena sudah punya jaringan sendiri-sendiri. Saya sering juga kirim ke Jember,” tandasnya. Saking banyaknya, jangan heran kampung tersebut disebut sentra pandai besi. Bayangkan, di satu RT saja terdapat sepuluh tukang pandai besi.
‘’Biasanya di satu tempat lebih dari satu orang pekerja,” kata Hariyadi. Karena tukang pandai besi tersebut tetap eksis dengan jumlah pekerja yang semakin bertambah, pemerintah desa setempat pun berencana membuat patung pandai besi di pertigaan kampung setempat.
‘’Mau dibuat patung besar di sini sebagai simbol sentra kampung pandai besi,” tandas Hariyadi. Di desa tersebut juga ada warga yang fokus menekuni pembuatan alat yang menyerupai barang antik alias gaman, seperti pedang, sangkur, dan samurai. Seperti yang ditekuni Hariyanto, ‘’Saya selama ini memasarkan lewat medsos. Alhamdulillah pesanan banyak,” katanya. (radar)