Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Suka-duka Penjual Wayang Kulit Keliling

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Selama Jualan Tokoh Sengkuni Laku Dua Kali

PERGELARAN wayang kulit malam itu belum usai. Penonton yang menyaksikan juga masih belum sepenuhnya datang. Namun, Saridi harus bergegas membereskan barang dagangannya lantaran hujan yang mengguyur malam itu begitu deras.

Tidak mau wayang kulit dagangannya basah kuyup, dia memutuskan memasukkan kembali puluhan wayang kulit yang sudah tertata rapi itu ke dalam sebuah plastik besar agar tidak basah. Saat membereskan wayang kulit dagangannya, dia harus rela basah kuyup.

Asalkan wayang kulit miliknya tidak basah, dia rela. Maklum, wayang kulit yang dijualnya merupakan harta berharga baginya. Sejak puluhan tahun silam, wayang kulit telah menghidupi dia dan keluarganya. ”Sebentar saya bereskan dulu wayangnya biar tidak  basah.

Nanti kita ngobrol-ngobrol,” ujar Saridi sambil memasukkan wayang kulit dagangannya ke kantong plastik. Oblek (lampu minyak) yang menjadi penerang malam itu juga sudah mulai padam terkena cipratan air hujan. Secara  perlahan, cahaya lampu oblek yang awalnya terang menyinari wayang kulit dagangannya redup kemudian mati terkena air hujan.

Setelah beberapa saat wayang kulit sudah dibereskan, barulah dia mengangkat lampu yang sudah mati tersebut ke tempat yang aman agar tidak lagi tersiram air hujan. Tidak diduga, ternyata Saridi bukan orang Banyuwangi. Ternyata dia adalah pedagang wayang kulit asli Kabupaten Bantul, daerah Istimewa Jogjakarta.

Jarak Bantul dan Banyuwangi boleh dibilang sangat jauh. Namun, dia rela datang ke Banyuwangi untuk menjajakan wayang dagangannya karena dia beranggapan di Banyuwangi tidak ada saingan. ”Sejak tahun 1989 saya jualan wayang, selalu mengikuti dalang kemana pun tampil.

Di Banyuwangi sudah dua hari ini,” kata bapak tiga anak yang beralamat di Dusun Pucung Karangasem, Kelurahan Imogiri, Kabupaten Bantul, itu.  Tidak hanya sebagai penjual, ternyata dia juga perajin wayang kulit. Barang-barang dagangannya juga merupakan hasil karya tangan Saridi.

Bisa dikatakan, dia adalah seniman wayang yang sampai saat ini masih eksis selain pelaku wayang itu sendiri. Membuat wayang dilakoni Saridi sejak kecil. Di kampung halamannya di Bantul banyak sekali perajin wayang. Saridi merupakan salah satu warga Dusun Pucung Karangasem yang mampu membuat wayang kulit.

”Di kampung  halaman saya, ada sekitar 500 KK yang berprofesi  sebagai perajin wayang. Jadi, membuat wayang itu sudah hal yang biasa di kampung kami,”kata Saridi.  Hampir semua tokoh-tokoh wayang pernah dia buat dan dia jual. Sebut saja tokoh Arjuna, Bisma, Werkudara, Yudistira, Batara Guru, dan lain sebagainya.

Banyak juga tokoh antagonis pada cerita wayang yang dia buat dan jual, seperti Kurawa. Namun, menurutnya, orang lebih suka membeli tokoh wayang yang baik-baik daripada membeli tokoh yang buruk-buruk.  ”Selama saya jualan wayang, baru duakali tokoh Sengkuni laku.

Tokoh Arjuna dan  Werkudara paling banyak dicari,” kata Saridi. Dia pun hanya membuat tokoh wayang kulit yang baik-baik saja. Tetapi, tidak menutup kemungkinan dia membuat tokoh wayang kulit berkarakter jahat. Dia hanya membuatnya jika ada yang memesan.

”Tidak berani membuat wayang dengan karakter jahat. Takut tidak  laku, mending buat tokoh yang baik-baik saja, pasti ada yang mencari,” jelasnya. Mengenai harga bervariasi. Wayang kulit  yang dia jual kepada penonton dia patok seharga Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu.

Namun, jika dia menjual kepada dalang, harga wayang  kulit yang dia jual harganya boleh dibilang lebih lumayan. ”Kalau untuk dalang wayangnya lebih halus lagi, kualitasnya lebih bagus. Satu biji saya jual Rp 600 ribu hingga Rp 800 ribu,” kata Saridi.

Lambat laun, menurut Saridi, penjualan  wayang kulit semakin lesu. Selain karena  wayang sudah dianggap kuno, harga wayang kulit juga semakin tahun semakin mahal. Hal tersebut diakibatkan harga kulit sapi, kerbau, dan kambing, yang menjadi bahan dasar  wayang kulit semakin mahal.

”Harga kulit ini kalau sudah naik tidak bisa turun, otomatis saya harus menaikkan harga wayang,” tuturnya. Dia yang juga berdagang dengan temannya, Muhammad Rosid, berharap wayang kulit tetap lestari. Dia juga merasakan semakin  tahun penonton yang menonton wayang kulit  semakin sepi.

Dia ingin wayang kulit tetap  lestari. Sebab, menurutnya, wayang kulit adalah  budaya nenek moyang yang harus dilestarikan. ”Jangan sampai nanti anak cucu kita tidak  tahu siapa itu Bisma, Arjuna, dan lain sebagainya,” pungkas Saridi. (radar)