Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Suko Prayitno, Master Seni Wayang Orang dari Tampo, Cluring

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

sukoHALAMAN depan SDN 2 Tampo, Ke camatan Cluring, cukup ramai sore itu. Jumlah siswa di lokasi itu lumayan banyak. Mungkin hampir separo jumlah murid dalam satu kelas. Padahal, di sekolah ini sedang tidak sedang berlangsung pelajaran atau les Mereka yang tampak bergerombol di halaman sekolah itu ternyata siswa yang berlatih menari. Mereka hadir tidak memakai seragam seperti umumnya sekolah. Siswa yang hadir di sana pun tidak didominasi kalangan perempuan.

Banyak pula siswa laki-laki. Tawa dan canda sesekali pecah di antara mereka yang berbincang hangat. Tidak lama kemudian, sebuah motor memasuki halaman sekolah. Kehadiran motor itu seolah membuat puluhan siswa ini pun mengambil langkah siap. Yang awalnya duduk mereka bergegas mengambil selendang dan berjejer rapi di halaman sekolah. Oh, ternyata yang datang adalah Suko. Setelah turun dari motor, bapak satu anak ini pun bergegas menuju sebuah ruangandan menenteng sebuah tape. 

Sore itu, Suko bersama puluhan murid memang sedang tidak menggelar kegiatan belajar atau jam tambahan (les). Mereka sedang bersiap belajar latihan tari bersama. Latihan rutin yang digelar tiga kali dalam sepekan. ”Di sini rutin saya memberikan latihan tari kepada anak-anak,” ujarnya di sela-sela latihan. Latihan yang tari yang diberikan Suko, rupanya bukan sekadar tarian. Ini dibilang merupakan dasar bagi gabungan dengan kreasi seni lainnya, yakni untuk pertunjukan (karawitan).

Lulus dari menyerap ilmu tari inilah, siswa kemudian digembleng dengan menu latihan lainnya seperti seni peran. Di sini, tahap demi tahap penciptaan kreasi seni mulai tahap tari, lagu, teater, musik, dan sastra mulai dilakukan. Untuk membuat sebuah ide cerita, Suko setidaknya membutuhkan waktu sehari untuk membuat grand desainnya. Sedangkan untuk pertunjukansetidaknya paling cepat seminggu. “Tapi itu tergantung mood. Kalau lagi pas, ya cepat.  

Kalau gak ya agak lama,” tuturnya. Kesulitan kerap ditemui Suko di lapangan dalam mencoba mengaktualisasikan ide dan karyanya. Apalagi berbau tradisional, dia kerap menemui kendala seperti transfer bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah. Banyak yang harus dicari format dan padanan yang sesuai dengan kaidah dan tatanan lokal.Belum lagi saat melaksanakan tahap pembuatan pertunjukan.

Suko tidak jarang dituntut untuk senantiasa jeli dalam memilih peran dalam setiap lakon dan babaknya. terlebih lagi untuk peran utama tidak jarang lebih sulit dalam menentukan figur yang pas di dalamnya. “Peran utama biasanya kesulitannya pada bahasa saja dan figur yang pas,” ujarnya. Di sisi lain dia juga harus memiliki kepekaan dan keserasian untuk musik yang digunakan. Dan tahap terakhir tinggal memoles dan memadukan semua tadi dengan tarian. 

Kondisi ini tidak jarang membuatnya harus ikut serta di dalamnya. Tidak jarang, Suko pun merasakan kerja dobel. Baik berperan sebagai pelatih, produser, hingga pemain, dan turun tangan menjadi penari sekaligus. Soal ide cerita, Suko cukup mengandalkan budaya Banyuwangi sebagai medianya. Dia menilai budaya Osing cukup kaya dan beragam. Maka saat memoles dan menampilkan sebuah pertunjukan dengan unsur budaya Banyuwangi, hampir tidak ada kesulitan berarti yang ditemuinya.

 Ini pun berdampak dari lahirnya beberapa karya seni yang berasal dari pemikiran dan buah tangannya. Di antaranya cerita pertunjukan yang dilahirkannya tari seblang, damar suluh, dan barong carok. Semua ide pembuatannya lahir begitu saja. Di sisi lain semua mencerminkan dan bersumber dari kekayaan budaya Banyuwangi. Di balik semua itu, apa yang dirasakan Suko dengan seabrek karya seninya membuatnya merajai sejumlah festival dan kejuaraan. 

Tidak sedikit grup sekolah yang ditanganinya selalu pulang dengan raihan trophy dan gelar juara baik di tingkat lokal Banyuwangi, regional Jawa Timur, bahkan juara nasional. Namun seringnya menjadi kampiun membuatnya harus rela dicekal selama satu tahun. “Sering juara akhirnya panitia yang tahu saya ikut tidak boleh ikut. Selama tahun 2009 saya dilarang ikut berbagai kejuaraan karena seringnya juara,” bebernya.

Kecintaan terhadap dunia seni rupanya cukup mendarah daging dalam diri suami dari Yudiani ini. Tumbuh dan berkembang dari keluarga yang memang dari pelaku seni. Suko sudah aktif di bidang kesenian sejak tahun 1982 silam. Adalah sang kakek yang merupakan seniman sekaligus empunya grup Prabu Loro yang menjadi inspirasi. Dengan polesan ilmu dan kemauannya yang keras untuk belajar berkesenian secara otodidak, Suko akhirnya memiliki kemampuan dan jiwa seni seperti saat ini. 

Tapi keinginannya untuk berkiprah di dunia seni bukan tanpa halangan. Orang tuanya bahkan sempat melarang untuk berkecimpung dalam seni. Alasannya sederhana banyak pelaku seni yang dipandang sebelah mata kala itu. Terlebih lagi, banyak pandangan minor bahwa pelaku seni sulit untuk memperoleh penghidupan yang layak. Namun, kengototan Suko berkecimpung di dunia seni, akhirnya membuat hati orang tuanya goyah. Dia pun diberi kebebasan dan memilih jalannya sendiri. “Seni bisa menjadi media belajar karena setiap daerah dan Banyuwangi memiliki keistimewaan sendiri,” ujar salah satu penggagas Parade Gandrung Sewu itu. (radar)