Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Temukan Makam Tua Tanpa Nama

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Di Plecutan, ada makam tua yang tidak banyak diketahui orang. Yang mengetahui hanyalah orang-orang sekitar. Pun, saat ini banyak pula orang sekitar yang tidak mengetahui bahwa bangunan berbentuk balok yang mirip tempat duduk itu sebenarnya makam. Namun, bagi orang yang usianya lebih dari 50 tahun dan menetap di kawasan tersebut sejak kecil, kemungkinan besar sudah hafal makam tersebut.

Agar pembaca tidak salah paham, perlu dijelaskan bahwa rubrik ini bukan rubrik yang sekadar menyajikan kuburan. Melainkan rubrik yang mencoba menggali bukti-bukti empiris terkait jejak Islam di Bumi Blambangan. Nah, yang bisa digu-nakan sebagai data untuk mengungkap jejak tersebut, salah satunya keberadaan suatu makam.

Sebab, makam umat Islam memiliki kekhasan tersendiri dibanding umat lain. Pun jejak masuknya Islam ke Nusantara hanya ditandai dengan makam Fatimah binti Maimun di Samudera Pasai yang kini posisinya berada di tengah hutan. Belum ada artefak lain yang lebih tua yang bisa menjadi bukti masuknya Islam ke Nusantara. Oleh karena itu, menelusuri makam-makam berciri khas Islam sebagai alat dalam mengungkap jejak Islam di Bumi Blambangan bukanlah hal yang keliru.

Kembali ke makam dekat Plecutan; makam tersebut terletak di sebelah timur agak ke utara dari Situs Plecutan. Oleh masyarakat sekitar, Situs Plecutan dipercaya sebagai tempat terakhir kali Prabu Tawang Alun, Raja Macan Putih, terlihat. Setelah itu, sang prabu tidak pernah terlihat lagi. Hal itu sudah per-nah dibahas koran ini dalam beberapa edisi. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa makam tersebut merupakan makam perempuan.

Namun demikian, tidak ada yang tahu pasti kenapa makam tersebut dianggap makam perempuan. Sebab, sejak dulu makam tersebut tidak bernisan. Kepercayaan masyarakat sekitar bahwa makam tersebut adalah makam perempuan hanya berdasar cerita turun-temurun. “Orang-orang zaman dulu menyebut itu makam seorang istri yang setia kepada suami.

Hanya itu keterangan yang ada,” kata Samsul, warga yang pernah mukim di dekat Plecutan di tahun 50-an. Saat ini, kawasan Plecutan masuk wilayah Dusun Cungking, Desa Gombolirang, Kecamatan Kabat. Tidak diketahui dengan jelas siapa nama orang yang dimakamkan, kedudukannya, dan status sosialnya semasa hidup. Warga sekitar hanya mempercayai bahwa makam itu adalah makam orang yang sudah memeluk Islam.

Sebab, makam tersebut membujur ke barat mojokke utara. Seperti yang pernah diberitakan, bahwa makam tua muslim di kawasan tersebut selalu membujur mojokke barat. Maka dari itu, masyarakat pun meyakini bahwa orang yang dimakamkan di dekat Plecutan itu sudah muslim. Apalagi, sebetulnya di areal tersebut tidak hanya terdapat satu makam melainkan empat makam. Semua makam itu menghadap ke arah yang sama dan dalam posisi berimpitan.

Melihat hal itu, maka patut diduga bahwa arah makam tersebut bukan soal kebetulan, melainkan disengaja. Sebab, kalau kebetulan, maka tidak mungkin empat makam itu menghadap ke arah yang sama. Namun, yang membuat masyarakat sekitar geleng kepala, gundukan empat makam tersebut dijadikan satu. Lalu, di atasnya dibangun satu bangunan mirip tempat duduk.

Menurut warga, itu dibangun oleh beberapa budayawan yang getol melestarikan budaya Banyuwangi. Namun, yang bikin luput, makam tersebut dibangun seperti tempat duduk, dan tidak ada keterangan sama sekali yang tertulis di sana. “Makam itu kalau tidak salah dulu ada tiga atau empat, tapi sekarang sudah dibangun seperti itu,” kata Asyari, warga sekitar.

Posisi makam tersebut tepat berada di pinggir sungai. Kini di sungai dekat makam tersebut dibangun sebuah wakaf(tempat orang salat). Nah, ada satu hal yang mena-rik terkait wakaftersebut. Sebab, Plecutan adalah kawasan yang jauh dari permukiman dan rumah warga. Samsul mengatkan, di tahun 50-an kawasan tersebut sangat sintru.

Sangat jarang orang yang berani melintas di kawasan tersebut, apalagi tinggal di sana seperti dirinya. Namun demikian, wakafter-sebut sejak dulu sudah ada walau belum dibangun seperti se karang. Maka patut diduga bah wa makam tersebut benar-benar makam muslim. Terkait jumlah makam yang me nurut masyarakat sekitar ber jumlah empat, maka patut pula diduga bahwa makam-makam tersebut sebetulnya adalah makam keluarga.

Apalagi jika melihat bentuk dan posisinya yang berdekatan, maka ku at dugaan bahwa mereka yang dimakamkan memiliki hu bu-ngan darah. Nah, jika dugaan itu benar, ya itu makam itu adalah makam orang muslim, maka sekarang tiba waktunya membuat dugaan bahwa ke mung-kinnan besar Islam sudah ber kembang di dalam Istana Ma can Putih pada zaman Tawang Alun.

Jika menelaah sejarah Syekh Maulana Ishaq yang diusir dari Blambangan karena menyebarkan Islam di ling kungan istana, maka kita patut berasumsi bahwa dugaan bahwa Islam sudah berkembang dengan pesat di dalam Istana Macan Putih di Zaman Tawang Alun itu memang benar adanya. Apalagi, dalam beberapa edisi, koran ini sudah menyajikan bukti-bukti empiris yang masih bisa ditelusuri terkait keyakinan Tawang Alun dan Patih Gringsing semasa hidup.

Dalam mengungkap sejarah me mang tidak berlaku “benar” dan “salah”, yang berlaku ada lah “mendekati kebenaran” ataukah “jauh dari kebenaran”. Oleh karena itu, sah-sah saja jika ada satu pendapat yang berbeda dengan pendapat orang-orang yang mengaku ahli sejarah. Dengan demikian, bukti-bukti empiris di lapangan yang di sajikan koran ini di beberapa edisi secara berturut-turut patut dijadikan sebagai stimulus awal untuk meneliti kembali ke yakinan yang berkembang di istana Macan Putih di zaman Tawang Alun. Sebab, sejarah se jatinya bukan urusan kutap-mengutip data, melainkan uru san asumsi atau dugaan yang bisa dibuktikan oleh data dan em piris di lapangan. (radar)

Kata kunci yang digunakan :