Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Terpeleset Sedikit Saja, Nyawa Taruhannya

Pengumpul air nira memangkas bunga kelapa di Desa Bengkak, Kecamatan Wongsorejo, kemarin (29-8).
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Pengumpul air nira memangkas bunga kelapa di Desa Bengkak, Kecamatan Wongsorejo, kemarin (29-8).

TIDAK mengenal lelah. ltulah yang dilakukan Suradi, pencari air nita yang diambilnya dari pohon kelapa di lahan milik PT Perkebunan Nusantara XII, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo.

Puluhan pohon kelapa harus dia panjat setiap hari. Dengan telaten dia mengumpulkan tetes demi tetes air nira yang sangat berharga sebagai sumber kehidupan ekonomi keluarganya. Rutinitas memanjat pohon harus dilakukannya dua kali sehari. Dia memanjat setiap pagi dan sore hari.

Di pagi hari, Suradi harus mengambil air nira yang terkumpul di dalam jeriken. Sedangkan aktivitas memasang jeriken dilakukan pada sore hari. Tetesan air nira ini ditampung menggunakan wadah berupa jeriken.

Tahap ini dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari. Pengambilan air nira (penderesan) pertama dimulai sekitar pukul 05.30 dilanjutkan pukul 15.30. Setiap hari, Suradi sanggup memanjat pohon dengan tinggi rata-rata 10 meter hingga 15 meter.

Pekerjaan pengumpul air nira tersebut sudah dilakoni sejak delapan tahun lalu. Dalam sehari, dia mampu memanjat 40 pohon kelapa. Setiap hari pula, dia mampu mengumpulkan 120 liter air nira.

Pengambilan air nira yang dilakukan masih sangat tradisional. Suradi harus memanjat pohon kelapa setinggi belasan meter itu untuk meletakkan jeriken penampungan. lni harus dilakukan dua kali, karena hasilnya kurang maksimal bila hanya dilakukan satu kali sehari.

Pekerjaan memanjat puluhan pohon kelapa saban hari tersebut memiliki banyak risiko. Terpeleset sedikit saja, dia bisa terjatuh dari atas pohon. Otomatis, jatuh dari pohon kelapa setinggi itu, nyawa yang menjadi taruhannya.

Tidak hanya itu, jika angin bertiup sedang kencang, maka Suradi harus benar-benar kuat memeluk pohon kelapa agar tidak jatuh. “Alhamdulillah masih diberi kekuatan Allah untuk bekerja, untuk mengumpulkan air nira,” ujar Suradi.

Di musim panas seperti ini, hasil air nita yang dikumpulkan dari batang bunga kelapa tidak sebanyak saat musim hujan. Hal tersebut membuat Suradi menjadi waswas, karena penghasilannya semakin berkurang.

Tidak hanya itu, panas yang sangat terik membuat daun kelapa dan batang bunga lebih cepat mengering. Kondisi daun kering ini berdampak tetesan air nira kian menipis. Air nira tersebut kemudian dikumpulkan untuk dijadikan bahan baku gula merah.

Air nita yang terkumpul itu, selanjutnya dimasak menggunakan wadah besar di atas tunggu berbahan bakar kayu. Proses memasak air nira itu bisa berlangsung selama 8 sampai 10 jam.

Proses memasak yang dilakukan Suradi dan istrinya itu diakhiri, ketika warnanya berubah menjadi cokelat pekat. Proses selanjutnya adalah mengaduk secara berulang agar tekstur gula menjadi pekat.

Bahan gula inilah yang kemudian dicetak menggunakan batok kelapa. Setelah itu, dilakukan proses pendinginan secara alami selama 45 menit. Dalam sehari, menurut Suradi, mampu menghasilkan sedikitnya 20 kilogram gula kelapa.

Gula sebanyak itu diperoleh dari bahan baku 120 liter nira yang berasal dari 40 pohon kelapa. Selanjutnya, gula merah dihargai Rp. 2500 per Kg. “Selain kerja seperti ini, kerja apalagi,” tandas Suradi. (radar)