Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Tradisi Puter Kayun Tetap Lestari

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Para pejabat Pemkab Banyuwangi naik dokar dalam festival Puter Kayun kamarin.

GIRI – Banyuwangi semakin menahbiskan diri sebagai gudangnya seni-tradisi. Di bulan Syawal ini saja, sedikitnya tiga tradisi lokal digelar di Bumi Blambangan, yakni Barong Ider Bumi di Desa Kemiren, Seblang di Desa Olehsari, dan kemarin giliran masyarakat Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri menggelar tradisi Puter Kayun.

Puter Kayun merupakan tradisi yang dilakukan warga setempat pada hari ke sepuluh Bulan Syawal. Warga Boyolangu ramai-ramai menunggang dokar hias menuju Pantai Watudodol yang berjarak sekitar 15 Kilometer (Km).

Puter Kayun kali ini dibuka oleh Staf Pemkab Banyuwangi Bidang Ekonomi dan Keuangan, Pujo Hartanto. Pujo mengatakan, bahwa tradisi yang masuk agenda wisata Banyuwangi Festival (B-Fest) ini berasal dari masyarakat yang tumbuh dari bawah.

Tradisi yang unik ini, lanjut dia, bisa menjadi identitas masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah daerah akan terus mendukung dan mewadahi agar tradisi Puter Kayun tetap lestari. “B-Fest akan konsisten mengangkat tradisi lokal masyarakat setempat, termasuk tradisi Puter Kayun Boyolangu ini,” ujarnya.

Menurut Pujo, festival yang bersumber dari tradisi lokal akan tetap digelar di desa atau kelurahan asal tradisi tersebut, bukan justru diusung ke kota. “Selain untuk menjaga tradisi dan ritual yang ada, ini juga sebagai cara untuk menumbuhkan banyak objek atraksi wisata di Banyuwangi,” kata dia.

Selanjutnya, Pujo bersama pejabat komponen daerah lainnya memecah kendi sebagai tanda dimulainya tradisi Puter Kayun. Bersama masyarakat, mereka, beramai-ramai menaiki dokar. Tradisi ini terus digelar sebagai napak tilas jejak Buyut Jakso, leluhur warga Boyolangu yang dipercaya sebagai orang yang pertama kali membangun jalan di kawasan utara Banyuwangi.

“Konon, dulu saat membuka jalan di sebelah utara, Belanda meminta bantuan pada Buyut Jakso karena bagian utara ada gundukan gunung yang tidak bisa dibongkar. Jakso lalu bersemedi dan tinggal di Gunung Silangu yang sekarang jadi Boyolangu.

Atas kesaktiannya, akhirnya dia bisa membuka jalan tersebut sehingga wiilayah itu diberi nama Watu Dodol, yang artinya Watu didodol (dibongkar),” ujar Ketua panitia Puter Kayun, Mohamad Ikrom.

Sejak itu, lanjut lkrom, Ki Buyut Jakso berpesan agar anak cucu keturunannya berkunjung ke Pantai Watu Dodol untuk melakukan napak tilas apa yang telah dilakukannya. “Karena saat itu hampir semua masyarakat Boyolangu berprofesi sebagai kusir dokar, maka mereka mengendarai dokar. Hingga ada yang menyebut puter kayun ini sebagai lebarannya kusir dokar,” kata dia.

Setelah sampai Watu Dodol, mereka menggelar selamatan. Sebagian tokoh adat juga menaburkan bunga berbagai rupa ke laut untuk menghormati para pendahulu mereka yang meninggal saat pembuatan jalan.

Sebelum pelaksanaan puter kayun, tradisi ini diawali sejumlah ritual. Dimulai dari nyekar ke makam Buyut Jakso dan tradisi kupat sewa (seribu ketupat) yang digelar tiga hari sebelum puter kayun. (radar)