Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Tradisi Unik warga Mondoluko Rayakan Idul Adha

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Suherman dan Marsitoh unjuk kebolehan bertanding silat dalam tradisi mencak sumping di Dusun Mondoluko, Desa Taman Suruh, Glagah kemarin.

Undang 50 Perguruan Silat, Bikin Ratusan Sumping

KERUKUNAN manusia berpakaian hitam-hitam terlihat memenuhi salah satu rumah yang berada di Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh siang itu. Jika diamati lebih dekat, pakaian hitam-hitam yang sekilas mirip dengan baju adat Suku Oseng ini ternyata adalah seragam pencak silat.

Hari itu tepat pada 10 Dzulhijah di kalender Islam yang merujuk pada hari raya Idul Adha 1438 H. Sesuai tradisi yang sudah berlaku selama turun-temurun di tempat itu, masyarakat Dusun Mondoluko sedang bersiap untuk nnenyaksikan dan menggelar acara selamatan Desa.

Dimana salah satu bagian dari ritual itu adalah menampilkan atraksi pencak silat. Begitu acara dibuka, satu-persatu para pendekar dari puluhan perguruan yang diundang oleh tuan rumah mulai unjuk diri.

Awalnya mereka hanya bermain tangan kosong saja sembari menunjukkan jurus-jurus ringan yang terdiri dari pukulan rendah dan kembangan. Setelah itu mulai muncul satu dua pendekar yang menggunakan ragam senjata tajam. Mulai dari celurit, pedang, trisula. tongkat hingga belati.

Tak hanya itu, beberapa perguruan bahkan menampilkan atraksi beradu. Dua orang pendekar saling bertarung menggunakan jurus-jurus yang mereka miliki. Tak ketinggalan para pesilat-pesilat cilik juga ikut hadir dan tak kalah menariknya dengan para pesilat dewasa.

Asran, 70, tetua perguruan Cibagor Mondoluko yang sedari tadi sibuk melayani tamu mengatakan, tradisi pencak ini sudah turun-temurun. Kebetulan Asran sendiri adalah generasi kelima dari perguruan pencak sumping Cibagor asli Dusun Mondoluko. Dia pun menceritakan secara singkat bagaimana tradisi itu sampai terus diadakan hingga saat ini.

Menurut kisah dari almarhum ayahnya, tradisi mencak (sebutan silat dalam Bahasa Oseng) muncul bersamaan dengan tradisi selamatan desa. Ketika itu, Dusun Mondoluko terkena pageblug atau wabah penyakit.

Dari mimpi yang diterima salah satu tetua desa saat itu, warga diminta untuk melakukan selamatan di tiga lokasi di Dusun Mondoluko. Setelah itu marga juga diminta membaca Lontar Yusuf setelah selamatan.

Terakhir warga diminta untuk begadang usai melakukan semua ritual itu. Karena saat itu mencak menjadi hiburan warga yang cukup menarik, maka dipilihlah mencak sebagai bagian dari tradisi tersebut.

“Mancak sumping juga lahir dari Desa ini. Dulu katanya sering terjadi perkelahian di sini. Orang-orang kemudian jadi modol-modol (compang- camping) dan luka. Jadi sama tetua di sini mereka disuruh latihan mencak. Dusun ini juga kemudian dinamai dengan nama Mondoluko (modul-modol dan luka),” kisah kakek 18 cucu itu.

Terkait nama mencak sumping, Asran menceritakan jika versi dari cerita tersebut bermacam-macam. Mencak sumping yang merupakan pencak silat khas Banyuwangi selain mempunyai gerakan yang khas dengan kuda-kuda rendah dan posisi tangan yang saling silang itu kabarnya berawal dari perkelahian atau pertarungan silat antara dua orang yang menggunakan sumping (kue nagasari) sebagai media untuk menentukan mana yang menang dan kalah.

Mereka yang berhasil memasukan sumping ke dalam mulut lawannya, dianggap menjadi pemenang dari pertarungan itu. Sedangkan versi masyarakat mondoluko sendiri menyebutkan, jika pencak sumping dinamai seperti itu karena setiap penampilannya selalu disuguhi kue sumping. Sehingga tradisi dan beladiri pencak silat yang ada di sana dinamai pencak sumping.

“Di sini warga memasak ratusan sumping untuk hidangan para tamu ini. Kita mengundang sekitar 50 perguruan mencak. Ada yang dari Banyuwangi Kota, Licin, Glagah, Kelir, Srono, Rogojampi, Ketapang dan beberapa daerah lainnya,” imbuh Asran.

Dalam tradisi mencak sumping itu, tampak keakraban dari para pendekar yang hadir. Meski mereka berbeda perguruan, namun hubungan yang sudah dijalin selama beberapa generasi itu membuat ikatan mereka tampak kuat.

Asran sendiri kini juga tak lagi menjadi pelatih silat, karena jabatan itu sudah diturunkannya kepada keponakannya Kusaini. Dan hal tersebut di Mondoluko akan terjadi terus secara turun-temurun.

Bahkan anak- anak yang memiliki darah keturunan pesilat, minimal di usia 9 tahun harus sudah mulai berlatih silat. Agar tradisi pencak sumping tidak hilang dari Mondoluko.

“Sekarang ada sekitar 30-an orang yang masih berlatih silat di sini. Kata mbah dulu, silat asli Banyuwangi berasal dari sini (Mondoluko) lalu banyak yang merantau dan pecah membuka perguruan silat lain. Kita kumpulkan seperti ini karena kita percaya leluhur kita sama. Selain selamatan desa. kita juga silaturahmi,” ujarnya sambil tersenyum. (radar)