Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Wajib Ada Sesaji dan Bendera Merah Putih

Jaelan, 53, dan Misno, 49. saat mengerjakan rumah adat khas Oseng halaman belakang Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, kemarin (3/10).
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Jaelan, 53, dan Misno, 49. saat mengerjakan rumah adat khas Oseng halaman belakang Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, kemarin (3/10).

Rumah khas adat Oseng Tikel Balung kian marak dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Rumah asli masyarakat Banyuwangi tersebut kini hampir bisa dijumpai di sejumlah destinasi wisata di Banyuwangi. Bagaimana dengan nasib para tukang pembuat rumah khas tersebut?

DEDY JUMHARDIYANTO, Banyuwangi

SUASANA kantor pelinggihan Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Banyuwangi siang itu cukup ramai. Sejumlah orang berpakaian pegawai negeri sipil (PNS) dan berbusana balik baru saja beranjak dari tempat duduk usai mengikuti rapat persiapan event Gandrung Sewu.

Diantara para staf kantor Disbudpar dan tamu yang berseragam dinas itu, di salah satu sudut pojok kantor itu tampak lima orang pekerja yang kesemuanya laki-laki. Mereka terlihat riang dan penuh canda. Sesekali juga tertawa lepas.

Mereka seolah tak menghiraukan lingkungan perkantoran di sekelilingnya. Mereka sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Ada yang mengangkat kayu, memegang palu, hingga memegang gergaji.

Mereka adalah para tukang yang sedang mengerjakan rumah adat khas Oseng. Dua dari lima orang tukang itu adalah Jaelan, 53, dan Misno, 49. Keduanya adalah tukang yang membawahi tiga orang kuli yang masing-masing membantu pekerjaan dalam mendirikan rumah khas Oseng, Tikel Balung.

Mereka baru saja menyelesaikan 70 persen tahap pendirian rumah khas Oseng yang sebelumnya adalah rumah bekas, yang juga berada di sekitar dalam kantor Disbudpar. Pembangunan rumah Tikel Balung tidak sembarang tukang kayu bisa mengerjakannya.

Karena dalam pengerjaannya dibutuhkan keahlian khusus, terutama mengenai teknis cara pemotongan kayu, hingga pembuatannya. “Kalau tidak memahami teknisnya bisa tidak karu-karuan,” tutur Jaelan.

Jika diperhatikan, dalam pembuatannya memang terlihat sederhana dan mudah. Namun, dalam praktiknya jika tidak pernah mengerjakan rumah Tikel Balung akan mengalami kesulitan. “Jangankan membuat baru, jika tidak paham teknis membongkarnya, akan kerepotan,” jelas lelaki warga Dusun Jambean, Desa Jambesari, Kecamatan Giri itu.

Rumah khas adat Oseng dalam kurun waktu tiga tahun terakhir semakin diminati oleh sejumlah masyarakat Banyuwangi dan para pengusaha. Tidak hanya dijadikan sebagai rumah permukiman, melainkan juga menjadi salah satu tempat tujuan wisata seperti warung kuliner, penginapan, dan juga sebagai tempat objek foto maupun video.

Sebagian besar minat masyarakat di kabupaten berjuluk The Sunrise of Java dalam mendirikan rumah khas adat Oseng tersebut cukup tinggi dibanding tiga tahun sebelumnya. Padahal, dari segi biaya pembuatannya rumah khas Oseng tersebut nilai harganya jauh lebih mahal, dibanding rumah minimalis dengan struktur bangunan gedung berdinding tembok.

Miahalnya biaya pembuatan rumah tersebut bukan dari biaya ongkos tukang, melainkan dari kualitas bahan balai yang akan digunakan. Apalagi, jika bahan bakunya dari kayu berkualitas bagus yang didatangkan khusus dari Kalimantan atau luar daerah.

Ditambah lantai dasar yang digunakan juga menggunakan bahan keramik lain yang memiliki keunikan khusus. “Yang mahal itu justru rumah yang sudah terkesan tua, tapi tetap eksotis, bersih, rapi dan nyaman,” jelasnya.

Namun demikian, sejumlah masyarakat yang memiliki keterbatasan anggaran justru tidak membuat baru, melainkan memilih dengan membeli rumah lama untuk dibongkar, yang selanjutnya akan didirikan lagi dengan sejumlah perbaikan.

“Jika buat baru biayanya mahal, tapi jika beli rumah lama dan diperbaiki kembali harganya bisa jadi lebih hemat dan murah,” timpal Misno, tukang lainnya.

Selama membuat atau pun mendirikan rumah Tikel Balung tersebut, dia tidak pernah meninggalkan ritual khusus. Terlebih, jika rumah tersebut akan dihuni sebagai rumah tempat tinggal (berumah tangga).

Salah satu tradisi ritual tersebut adalah memberi ubo rampe berupa poro bungkil yakni sejenis umbi-umbian seperti singkong, ubi (sebrang), pohon pisang raja yang berbuah, buah waluh, tebu, dan yang tidak boleh tertinggal yakni bendera merah putih.

Syarat tersebut menjadi sebuah keharusan atau kewajiban dalam setiap mendirikan rumah adat khas Oseng terutama Tikel Balung. Syarat tersebut sudah ada secara turun-temurun dari nenek moyang yang tidak boleh dilanggar.

“Kata orang dulu welurii-nya seperti itu, jadi kalau tidak ada syarat itu kadang kami memilih berhenti bekerja, dan tidak berani menuntaskan pekerjaan,” terang lelaki warga Dusun Tembakon, Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah itu.

Ubo rampe tersebut biasanya dipasang di tengah-tengah blandar (kayu besar) di bagian paling ujung atas, dan dilakukan saat prosesi naik kayu atau proses pemasangan atap. “Masyarakat biasa menyebut dengan peras, baru boleh diturunkan jika semua pengerjaan pemasangan atap sudah tuntas,” ujarnya.

Sebagai tukang dan warga Banyuwangi, dia justru sangat bersyukur karena mulai timbul kesadaran dari masyarakat untuk kembali melestarikan rumah adat khas Oseng yang menjadi salah satu warisan leluhur.

“Kalau bisa ada satu kampung yang rumahnya masih khas Tikel Balung, pasti sangat bagus,” tandasnya bangga. (radar)