Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Warga Curahjati Mantu Kucing

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

warga-curahjati-mantu-kucing

Tradisi Minta Hujan dan Keselamatan

PURWOHARJO – Warga Dusun Curahjati, Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo menggelar tradisi mantu kucing kemarin (10/11). Upacara ritual yang sudah berlangsung sejak tahun 1930 itu, dilakukan untuk meminta keselamatan dan berharap turunnya hujan.

Ritual mantu kucing yang dilaksanakan dengan menikahkan sepasang kucing jantan dan betina itu, oleh warga setempat diyakini memiliki nilai magis dan dipercaya bisa mendatangkan hujan. “Kucing dipilih karena menurut cerita kucing itu takut dengan air.  Sehingga, dalam tradisi ini jika kucing dimandikan akan segera turun hujan,” ujar Kepala  Desa Grajagan, Supriyono.

Pelaksanaan ritual itu, terang dia, diselenggarakan setiap tahun pada bulan November atau saat musim ketigo (kemarau). Meskipun sudah turun hujan, tradisi tersebut tetap dilaksanakan sebagai pelestarian warisan leluhur. “Ini sudah menjadi tradisi warga,” katanya.

Rangkaian acara mantu kucing itu, diawali dengan mempertemukan sepasang kucing jantan dan betina di halaman rumah sesepuh adat setempat. Kucing jantan yang kali ini nikahkan itu milik Kusnadi, salah satu juru pengairan desa atau jogotirto. Sedang kucing  betina milik Suparji yang juga seorang jogotirto.

Saat mantu kucing itu, sepasang kucing itu  juga diberi nama. Kucing jantan bernama  Slamet, dan kucing betina diberi nama Rahayu. Warga sengaja memberi nama itu agar warga Desa Grajagan selalu diberikan keselamatan  dan kebahagiaan, aman, tenteram, sentosa.

Usai dipertemukan, sepasang mempelai kucing digendong oleh pemiliknya. Selanjutnya, oleh warga diarak menuju mata air Umbulsari, tempat yang disakralkan oleh warga dengan jarak sekitar satu kilometer dari rumah sesepuh adat. Menariknya, selama perjalanan menuju mata air Umbulsari itu diiringi gamelan khas jaranan buto, seperti kendang, kempul, terompet,  dan gong.

Tidak ketinggalan, enam pemain jaranan buto ikut berjalan dengan melewati kampung dan persawahan. “Sumber air  Umbulsari itu tidak pernah mati, meski musim kemarau panjang. Sehingga warga percaya  sumber itu memberi penghidupan terutama pada petani,” ungkapnya.

Setibanya di lokasi mata air Umbulsari, dilakukan ritual menikahkan dan doa bersama  yang dipimpin sesepuh adat. Usai didoakan, kucing yang telah terpilih itu kemudian  dilepaskan dari dalam sangkar dan diceburkan ke mata air. Bersamaan dengan itu, warga  berteriak hujan sambil saling mengambil air dari mata air dan disiramkan ke warga lain.

“Biasanya setelah ritual ini segera turun hujan, dan ritual ini adalah tradisi nenek moyang sehingga harus tetap dilestarikan,” tandasnya. Ritual mantu kucing ditutup dengan selamatan dan doa bersama. Tumpeng yang dibawa warga, langsung dimakan bersama. “Tradisi mantu kucing ini sudah ada sejak tahun 1930,”  terang Martoyo, 90, sesepuh adat setempat pada wartawan  Jawa Pos Radar Genteng.

Menurut Martoyo, tradisi ini bermula saat Desa  Grajagan dilanda ke ke ringan dan paceklik yang cukup panjang. Akibat bencana itu, banyak warga yang  kelaparan karena tidak bisa bertanam. Dengan dasar  mimpi, kepala desa pertama di Desa Grajagan, Tirto Wono Samudro menggelar ritual mantu kucing dengan harapan bisa turun hujan.

“Jadi sejarahnya dulu setelah dilakukan ritual, tidak lama turun hujan. Warga yang mayoritas petani bisa bercocok tanam lagi, dan ritual  ini dilakukan secara turun temurun sampai saat ini,”katanya. (RADAR)