Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Yang Melanggar Disanksi Membersihkan Tempat Ibadah

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

ygDusun Patoman Tengah di Desa Patoman, Kecamatan Rogojampi, merupakan miniatur Bali di Bumi Blambangan. Seperti apa suasana kampung itu saat Hari Raya Nyepi? DUSUN Patoman Tengah berada di bagian barat Desa Patoman. Warga yang tinggal di kampung ter sebut sebagian besar beragama Hindu. Masyarakat dusun tersebut memiliki garis kekerabatan sangat dekat dengan Bali. Mulai nama warga hingga logat bicaranya tidak beda dengan warga Pulau Dewata.

Datang ke Dusun Patoman Tengah seolah ada di Bali. Hampir semua model rumah warga mirip rumah warga Bali, termasuk ada tempat pemujaan dan sesaji (sanggah) di depan rumah. Selama Nyepi, Dusun Patoman Tengah menjadi daerah tertutup. Semua akses menuju kampung itu ditutup untuk umum. Semua rumah milik warga juga tertutup ra pat hingga terkesan seperti tidak berpenghuni.

Jalan di kampung itu ditutup menggunakan bambu penghalang. Sejumlah pecalang (petugas keamanan adat) diturunkan untuk me lakukan pengamanan. “Warga di Dusun Patoman Tengah beragama Hindu, dan sekarang (kemarin, Red) merayakan Nyepi,” terang Ketua Parisada Desa Patoman, Putu Subadrio. Jalan di dusun tersebut ditutup dan dipasangi bambu agar tidak ada warga yang masuk ke kampung Bali tersebut. Jika tidak ditutup, Nyepi yang dilakukan umat Hindu dikhawatirkan akan terganggu.

“Tapi tidak seketat di Bali, karena di sekitar kami ini banyak warga muslim,” ujar Putu Subadrio Dalam Nyepi yang dilaksanakan selama 24 jam penuh itu, umat Hindu diharuskan melaksanakan empat pantangan dalam catur brata, yakni amati geni (tidak memasak dan menghidupkan lampu), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (puasa). “Ini harus dilaksanakan,” kata Putu.

Untuk menjaga agar umat Hindu bisa me laksanakan catur brata dengan baik, se banyak sepuluh pecalang disiapkan. Mereka akan melakukan patroli setiap dua jam sekali. “Semua pecalang berkumpul di Balai Gong (gedung kesenian), dan setiap dua jam patroli,” jelasnya. Patroli yang dilakukan pecalang itu bukan hanya untuk menjaga keamanan, mereka juga mengawasi umat Hindu yang se dang melaksanakan catur brata. “Yang melanggar catur brata akan diberi sanksi adat, seperti membersihkan tempat ibadah hingga beberapa hari,” jelasnya.

Tetapi, sampai saat ini Putu menyebut belum pernah ada umat Hindu yang me langgar dan disanksi. Itu menunjukkan umat Hindu di Desa Patoman patuh ter hadap ajaran agama. “Catur brata bisa dilanggar oleh ibu yang punya anak kecil, karena sakit, dan ada keluarga yang meninggal,” cetusnya. Apa yang disampaikan tokoh agama Hin du di Desa Patoman itu memang benar. Se telah beberapa kali melaksanakan patroli, pecalang tidak menemukan umat Hindu yang melanggar.

Bila ada yang berkeliaran atau warga yang mengendarai motor di perkampungan, bisa dipastikan itu warga non-Hindu. “Untuk umat muslim tetap kita toleransi,” katanya. Dalam patroli, pecalang berjalan kaki keliling kampung. Selain mengawasi rumah warga, mereka juga membetulkan posisi bambu yang digunakan sebagai portal penutup jalan. Dalam patroli tersebut, para pecalang sempat melihat beberapa warga muslim yang melintas di perkampungan ter sebut. Warga tersebut sempat dihentikan pecalang dan diberi pengertian. “Kita memaklumi karena di sekitar kami adalah warga muslim,” sebutnya. (radar)