DATA yang dirilis Dinas Kesehatan Banyuwangi, jumlah kematian ibu cukup tinggi di tahun 2013 yang mencapai 33 orang. Sempat turun di tahun 2014 menjadi 22 orang. Jumlah kematian kembali meningkat di tahun 2015 menjadi 23 orang.
Faktor tertinggi yang menjadi penyebab langsung jumlah kematian adalah pendarahan dan eklamsia atau kejang. Meski layanan medis untuk menangani ibu hamil saat ini bertambah, tapi jumlah tersebut belum dapat menekan angka kematian ibu (AKI).
Terlebih sebagian besar ibu yang meninggal sebelumnya mendapatkan layanan medis, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Kualitas pelayanan juga disebut menjadi faktor yang mempengaruhi penanganan ibu hamil.
Kabid Kesehatan Keluarga Dinkes Banyuwangi, dr. Juwana, menjelaskan masih banyaknya ibu berisiko tinggi membuat jumlah kematian masih sulit ditekan. “Meski layanan kesehatan ditambah, faktor yang menjadi penyebab kematian, baik langsung maupun tidak langsung, masih tinggi,’’ katanya.
Kasus hemorrhagic post partum (HPP) atau pendarahan yang menjadi salah satu penyebab langsung kematian ibu terjadi akibat beberapa faktor. Salah satunya faktor “empat terlalu”, yaitu kehamilan terlalu muda, terlalu tua, jarak kehamilan terlalu dekat, dan anak terlalu banyak.
Kemudian, faktor gizi ibu hamil yang buruk dan penyakit bawaan, seperti hipertensi dan penyakit menular, seperti TBC dan HIV. Namun, dua faktor terbesar penyebab langsung kematian ibu adalah pendarahan dan eklamsia. Hamil usia muda adalah penyebabnya.
Di Banyuwangi angka kehamilan muda di bawah 18 tahun masih sering ditemui. Padahal, hamil di usia tersebut memiliki banyak risiko karena fisik belum matang dan psikis ibu menerima kehamilan belum siap. Sehingga, risiko pendarahan, kejang, dan sesak napas, bisa mengiringi para wanita yang hamil di usia muda.
“Jumlah kematian ibu di Banyuwangi memang cukup tinggi. Tetapi, melihat angka kematian ibu (AKI), angkanya masih rendah. Tapi tetap kita upayakan menekan angka tersebut,” beber Juwana. Demi mengurangi kematian ibu tahun ini, Dinkes sudah bergerak untuk mengurangi ibu berisiko.
Salah satunya, menghidupkan kembali Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang di dalamnya ada program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K) dan Desa Siaga. Program tersebut dilakukan untuk memantau ibu sejak awal hamil hingga melahirkan, termasuk melihat perkembangan kesehatan ibu dan mempersiapkan bantuan dana jika dibutuhkan, donor darah, transportasi, dan layanan kesehatan yang dituju.
Masalah kehamilan di usia muda perlu bantuan masyarakat luas. Sebab, yang dapat menekan faktor tersebut adalah lingkungan, baik keluarga, lingkungan, maupun masyarakat. “Kita terus upayakan dengan gerakan-gerakan tertentu demi menekan kematian ibu, baik langsung maupun tidak langsung.
Peran serta masyarakat juga diperlukan supaya mereka tahu bahwa hamil di usia muda itu berisiko. Hamil terlalu tua juga berisiko, termasuk jika tertular penyakit, seperti HIV dan TBC,” tegasnya. (radar)