TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala mengenang peristiwa heroik di Surabaya tahun 1945. Seruan “Merdeka atau Mati!” bukan sekadar semboyan, melainkan titik balik sejarah di mana rakyat jelata, santri, ulama, pelajar, dan pejuang dari berbagai latar bersatu mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung.
Setelah delapan dekade berlalu, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah masih adakah makna “kepahlawanan” di tengah masyarakat digital yang serba cepat, pragmatis, dan terkadang apatis terhadap nilai-nilai perjuangan?
Jika dahulu pahlawan identik dengan keberanian fisik melawan penjajah, kini kepahlawanan menuntut bentuk baru: keberanian moral, intelektual, dan sosial dalam menghadapi penjajahan gaya baru-korupsi, ketimpangan sosial, intoleransi, dan disinformasi digital.
Namun, perubahan lanskap sosial akibat media digital menciptakan paradoks baru. Di satu sisi, teknologi membuka ruang bagi partisipasi sosial yang luas; di sisi lain, ia menumbuhkan budaya individualistik dan narsistik yang menjauh dari semangat kolektif para pejuang 1945.
Fenomena “pahlawan instan” di media sosial misalnya, menggambarkan pergeseran makna kepahlawanan menjadi sekadar citra. Aksi sosial kini kerap dikemas dalam format content creation yang berorientasi pada likes dan followers.
Nilai altruistik yang dulu melekat pada perjuangan, kini terancam tergantikan oleh kepentingan personal dan algoritma popularitas. Di sinilah relevansi kritik Antonio Gramsci tentang “hegemoni budaya” menemukan konteks barunya. Kekuasaan hari ini tidak lagi dijalankan melalui senjata, melainkan melalui dominasi wacana dan citra di ruang digital.
Salah satu tantangan terbesar bangsa ini adalah krisis ingatan kolektif. Peringatan Hari Pahlawan seringkali direduksi menjadi ritual seremonial tanpa refleksi mendalam.
Upacara, karangan bunga, dan slogan heroik menjadi simbol-simbol kosong yang kehilangan daya kritisnya. Padahal, makna historis 10 November bukan hanya tentang keberanian melawan kolonialisme, tetapi juga tentang solidaritas lintas kelas, etnis, dan ideologi.
Krisis ini diperparah oleh komodifikasi simbol pahlawan dalam ruang publik. Pahlawan dijadikan ikon komersial, nama jalan, atau konten promosi tanpa pemaknaan substantif. Seolah pahlawan hanya penting sejauh ia bisa dijual.
Ini sejalan dengan analisis Jean Baudrillard tentang “simulacra”: di mana realitas tergantikan oleh representasi semu. Kita mengenal pahlawan bukan dari nilai perjuangannya, melainkan dari poster, meme, dan iklan. Pahlawan menjadi simulasi nyata tapi tak bermakna.
Sektor pendidikan seharusnya menjadi ruang paling strategis untuk menanamkan nilai kepahlawanan, namun dalam praktiknya, pendidikan sering kali gagal menumbuhkan kesadaran kritis. Kurikulum sejarah misalnya, masih cenderung bersifat hafalan, bukan reflektif.
Siswa mengingat tanggal pertempuran, tapi tidak memahami makna sosial, politik, dan moral di baliknya. Hal ini menjadikan generasi muda hafal pahlawan sebagai nama, tetapi tidak menjadikannya inspirasi.
Krisis nilai ini juga berkaitan dengan lemahnya keteladanan sosial. Ketika para pemimpin sibuk memperkaya diri dan masyarakat terjebak dalam pragmatisme ekonomi, maka konsep “berjuang demi bangsa” kehilangan relevansinya. Tak heran jika banyak anak muda merasa jauh dari semangat kepahlawanan karena mereka tak melihat model nyata di sekitarnya.
Dalam konteks ini, kita perlu membaca ulang pemikiran Paulo Freire tentang conscientization-kesadaran kritis sebagai kunci pembebasan. Pendidikan harus membangkitkan daya pikir reflektif agar generasi muda tak hanya mengenal pahlawan, tapi juga mampu menjadi pahlawan dalam konteksnya sendiri.
Dalam masyarakat modern, bentuk kepahlawanan memang berubah. Pahlawan hari ini bukan lagi mereka yang berperang di medan tempur, tetapi yang berjuang mempertahankan nilai kemanusiaan di tengah krisis moral dan ekologi global.
Aktivis lingkungan yang melawan deforestasi, guru di daerah terpencil yang mengabdikan diri tanpa pamrih, jurnalis yang menolak tunduk pada kekuasaan, atau fact-checker yang melawan hoaks di dunia maya, mereka semua adalah manifestasi baru dari semangat 10 November.
Keberanian mereka sering tidak mendapat pengakuan publik. Bahkan, di era politik citra, mereka bisa tersingkir karena dianggap tidak populer. Padahal, di tengah arus disinformasi dan degradasi moral, keberanian untuk berpikir kritis, jujur, dan bertanggung jawab adalah bentuk kepahlawanan yang paling langka.
Maka, Hari Pahlawan seharusnya menjadi momen untuk menyoroti perjuangan sunyi para “pahlawan tanpa tanda jasa” di era digital, bukan sekadar mengulang kisah masa lalu.
Dari Heroisme ke Etos Kewargaan
Kita perlu menggeser paradigma kepahlawanan dari heroisme individual ke civic heroism kepahlawanan kewargaan. Artinya, menjadi pahlawan tidak selalu berarti melakukan hal besar, tetapi menjalankan tanggung jawab sosial dengan integritas. Dalam konteks demokrasi, pahlawan adalah warga yang menolak korupsi, melaporkan ketidakadilan, dan aktif memperjuangkan kebaikan publik.
Konsep ini sejalan dengan gagasan Benedict Anderson tentang “komunitas terbayang” (imagined community), di mana kebangsaan dibangun oleh kesadaran kolektif, bukan oleh figur tunggal. Maka, semangat 10 November mestinya tidak berhenti pada pengkultusan tokoh, tetapi meluas menjadi gerakan sosial yang menumbuhkan etos solidaritas dan tanggung jawab bersama.
Setiap warga bisa menjadi pahlawan dalam ruang dan peran masing-masing: guru, petani, perawat, atau bahkan pengguna media sosial yang menyebarkan literasi positif.
Tidak bisa dipungkiri, negara memiliki peran besar dalam membentuk narasi kepahlawanan. Namun, problem muncul ketika negara menginstitusionalisasi pahlawan secara politis. Gelar “Pahlawan Nasional” kerap diberikan dengan pertimbangan ideologis atau kepentingan kekuasaan, bukan berdasarkan nilai universal perjuangan. Ini mengaburkan makna sejati kepahlawanan sebagai tindakan moral yang bebas dari motif kekuasaan.
Dalam situasi demikian, kita perlu mendorong desentralisasi narasi kepahlawanan. Masyarakat harus diberi ruang untuk menafsirkan pahlawan sesuai konteks sosialnya, bukan hanya menerima definisi resmi negara.
Dengan demikian, muncul keragaman figur dan kisah yang lebih representatif termasuk pahlawan lokal, perempuan, minoritas, dan tokoh-tokoh yang selama ini terpinggirkan dari narasi arus utama sejarah.
Kita tidak membutuhkan lebih banyak upacara, tetapi lebih banyak kesadaran. Pahlawan bukan untuk disembah, melainkan untuk diteladani. Mengingat pahlawan berarti menelusuri nilai-nilai yang membuat mereka berani: kejujuran, solidaritas, pengorbanan, dan keadilan.
Nilai-nilai itulah yang harus diterjemahkan ke dalam praktik sosial hari ini dalam politik yang bersih, birokrasi yang melayani, pendidikan yang memerdekakan, dan media yang mendidik.
Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh kepentingan, meneladani pahlawan berarti melawan arus melawan ketidakpedulian, ketidakadilan, dan ketakutan untuk bersuara. Maka, Hari Pahlawan bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi momentum untuk menegaskan kembali arah moral bangsa: bahwa kemerdekaan tanpa keberanian moral hanyalah ilusi.
Tugas kita bukan lagi mencari pahlawan baru, tetapi menjadi bagian dari kepahlawanan itu sendiri. Dalam era disrupsi, perjuangan tidak lagi berbentuk perang fisik, melainkan perang wacana dan nilai.
Di dunia digital, pahlawan sejati adalah mereka yang menjaga nalar publik tetap waras, membela kebenaran meski tidak populer, dan menolak tunduk pada kebohongan yang menguntungkan.
Hari Pahlawan mestinya menjadi ruang reflektif untuk bertanya, apakah kita masih mewarisi semangat 10 November atau sekadar menjadikannya nostalgia tahunan? Bila para pahlawan dahulu mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan, maka tugas generasi kini adalah memastikan kemerdekaan itu tidak dirampas oleh keserakahan, kebodohan, dan kemunafikan.
***
*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Filsafat Ilmu dan Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |



