TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, mendesak pemerintah untuk merevisi regulasi dan kebijakan tarif penyeberangan menyusul temuan data manifes yang rancu pada kapal motor penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya diperairan Selat Bali.
Dalam kesempatan kunjungannya ke Pelabuhan ASDP Indonesia Ferry Cabang Ketapang, Banyuwangi, Bambang nampak membaur hangat dengan puluhan keluarga korban yang menanti kabar baik sanak saudaranya yang belum diketemukan atas insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya, yang bahkan tak terdaftar manifes.
Pada kesempatan itu Bambang ingin memastikan upaya pencarian korban serta menyapa keluarga korban di crisis center. Pemilik sapaan akrab BHS ini menyebut ketidaksesuaian manifest tidak hanya menghambat proses pencarian dan evakuasi korban, tetapi juga menyulitkan pencairan klaim asuransi bagi keluarga korban yang tidak tercatat di manifes.
Dijelaskan oleh Bambang, manifest yang tidak akurat menjadi biang kerok terhambatnya pencarian korban dan rumitnya proses klaim asuransi. Masalah ini berakar dari regulasi Kementerian Perhubungan yang tidak tepat, yaitu Keputusan Menteri Nomor KM 58 Tahun 2003 yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Nomor PM 66 Tahun 2019 tetapi hanya formulasi tarifnya saja yang diubah sedangkan permasalahan tiket penumpang kendaraan yang dihapuskan tidak ikut diubah.
“Inilah akhirnya menjadi regulasi yang salah yang menetapkan penumpang kendaraan dan supir tidak bertiket,” katanya, Senin (7/7/2025)
Bambang yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI ini menerangkan, dalam ketentuan tarif angkutan penyeberangan saat ini, penumpang yang berada di dalam kendaraan tidak diwajibkan memiliki tiket secara individu. Akibatnya, banyak dari mereka tidak tercatat secara resmi dalam manifest kapal.
“Ini bukan semata kesalahan operator pelayaran. Akar persoalannya terletak pada regulasi pemerintah yang tidak tepat di tahun 2003 yang saat ini masih menjadi pedoman untuk tidak mewajibkan penumpang dalam kendaraan apapun bertiket sehingga pendataan jumlah penumpang menjadi rancu,” tuturnya.
“Pada Insiden KMP Tunu Pratama Jaya ini, ada empat kendaraan mobil yang seharusnya tiketnya sudah termasuk 1 supir 4 penumpang tetapi karena tidak bertiket penumpang mobil tersebut tidak masuk data yang harus dievakuasi maupun mendapatkan santunan asuransi. Ini jelas sangat merugikan masyarakat yang menjadi korban maupun keluarga korban,” imbuh Bambang.
Karena dalam KM 58 th 2003 tiket, masih kata Bambang, satu mobil sudah termasuk 4 penumpang yang harus dicover oleh asuransi maka saya menekankan kepada Jasa Raharja untuk mengcover penumpang yang tidak mempunyai tiket atau terdaftar di manifest.
Alumni Teknik Perkapalan ITS Surabaya itu, mendesak Menteri Perhubungan untuk segera merevisi regulasi KM 58/2003 dan mengembalikan sistem satu penumpang kendaraan satu tiket guna memastikan keakuratan data manifest.
Menurut Bambang, keakuratan manifest merupakan aspek vital dalam keselamatan pelayaran, khususnya saat proses evakuasi dan penanganan korban kecelakaan laut.
“Manifest itu penting dan menyangkut keselamatan publik karena pada saat kejadian kecelakaan alat keselamatan daripada kapal harus bisa mencukupi jumlah penumpang dan kru sebagai pelayan di transportasi laut,” kata BHS
Selain itu, Kapoksi Komisi VII DPR-RI ini meminta Menteri Perhubungan untuk merealisasikan aspirasi dari operator transportasi yang menyampaikan bahwa perhitungan tarif yang diberlakukan saat ini masih belum sesuai dengan perhitungan biaya saat ini dan bahkan masih menggunakan perhitungan biaya 2019 yang sudah tertinggal HPP nya sebesar 31,8% dimana saat itu Kemenhub, Kemenko Marvest, PT. ASDP, YLKI dan Asosiasi Gapasdap sudah menyetujui dan harusnya sudah menjadi pedoman tarif.
“Inilah yang mengakibatkan operator menemui ketidakmampuan untuk menutup biaya operasional sesuai dengan standarisasi keselamatan dan pelayanan minimum yang ada di UU Pelayaran no 17 th 2008. Bila tidak terealisasi sama dengan Kemenhub melanggar aturan perundang-undangan dan ini bisa membahayakan terhadap keselamatan dan kenyamanan konsumen yang menggunakan transportasi penyeberangan,” jelas Bambang.
Lebih lanjut, Bambang, juga menyoroti persoalan Over Dimensi dan Over Load (ODOL) sebagai salah satu faktor pemicu utama kecelakaan kapal penyeberangan KMP Tunu tersebut. Karena kapal tsb terbalik cepat dalam waktu hitungan menit, ini menandakan telah terjadi unstability (stabilitas negatif) di kapal tsb karena muatan yang diatasnya terlalu berat. Ditambah dengan faktor alam mempercepat terbaliknya kapal yang akhirnya membawa korban sangat banyak baik kru maupun penumpang.
Seharusnya truk ODOL bisa dicegah dengan cara pengenaan tarif berlipat pada tambahan berat atau panjang truk seperti yang diberlakukan di beberapa negara termasuk Jepang, yang mana ditambahkan kenaikan tarif secara progresif. Bambang mencontohkan, misalnya di Jepang penambahan 1 ton atau panjang truk 1 meter tarif truk mengalami kenaikan sekitar 50 persen dan bila penambahan 2 ton atau 2 meter panjang truk tarif mengalami kenaikan 100 persen dan bahkan naik lebih tinggi secara progresif.
“Ini untuk mendorong truk yang menggunakan kapal penyeberangan tidak melakukan perubahan ukuran yang dipaksakan serta berat truk yang diluar batas yang bisa membahayakan stabilitas kapal dan daya apung (displacement kapal),” tegas Bambang.
Bambang menyerukan agar pencarian korban penumpang maupun kru bisa lebih ditingkatkan penyisirannya di pantai dan daratan sepanjang Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Banyuwangi dengan melibatkan unsur BPBD wilayah tersebut, nelayan serta Basarnas, TNI, Polri dan relawan yang menjadi unsur utama evakuasi.
“Dan diharapkan bisa terinformasikan di keluarga korban yang masih setia menunggu 1 hari 1 kali. Juga perlu diusahakan penambahan tenaga trauma healing untuk keluarga korban maupun korban yang selamat agar mereka tidak mengalami kesedihan dan trauma yang panjang,” ucapnya. (*)
Pewarta | : Anggara Cahya |
Editor | : Imadudin Muhammad |