KETIKA membahas tentang persoalan masjid, arah pembicaraan kita langsung tertuju kepada pengurus takmir. Memang hal itu wajar, dan tidak bisa disangkal. Mengingat pengurus takmir memiliki tanggung jawab besar di dalam mengelola masjid.
Mulai dari penggalangan dana sampai menyusun program pemakmuran tempat ibadah kaum muslimin, peran mereka sangat vital, terutama menjaga fungsi masjid sebagai pusat ibadah dan aktivitas jemaah.
Namun, tanggung jawab pengurus takmir, tidak hanya sebatas rutinitas administratif, seperti, mempersiapkan salat lima waktu atau pun mengatur peringatan hari besar Islam (PHBI).
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah mengakomodasi kebutuhan seluruh jemaah, termasuk anak-anak. Ironisnya, anak-anak sering dianggap mengganggu kekhusyukan ibadah, sehingga keberadaan mereka kerap dipandang sebelah mata.
Masalah yang Dihadapi
Faktanya, masih banyak ditemukan masjid yang kurang ramah terhadap anak. Mulai dari teguran keras, larangan bermain, atau sikap dari sebagian jemaah membuat anak merasa tidak nyaman. Akibatnya, dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap masjid dalam diri anak-anak.
Di sisi lain, secara sosiologis anak-anak perlu dikenalkan pada masjid sejak dini untuk menanamkan kecintaan terhadap agama. Sebagai contoh, masjid yang menyediakan ruang khusus untuk anak-anak atau mengadakan kegiatan kreatif seperti kelas Al-Qur’an dan area bermain edukatif akan lebih menarik bagi mereka.
Masalah ini menuntut pengurus takmir untuk berinovasi menciptakan masjid yang lebih inklusif. Dengan begitu, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga ruang yang mendidik dan menyenangkan bagi anak.
Strategi Mewujudkan Masjid Ramah Anak
Dari persoalan di atas, gagasan tentang masjid ramah anak sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai pedoman telah disusun oleh sejumlah pemangku kepentingan, termasuk pedoman yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, aturan dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, serta pedoman dari Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Pedoman tersebut, menunjukkan langkah-langkah strategis untuk menciptakan masjid yang mendukung anak-anak, baik dari segi fasilitas maupun edukasi. Persoalannya kemudian, terletak pada bagaimana mendukung implementasi pedoman tersebut secara nyata, di level komunitas maupun praktis.
Untuk menjawab persoalan di atas, saya mencatatnya yang pertama, kolaborasi antara pengurus masjid, pemerintah daerah, perguruan tinggi, atau pun lembaga NGO, diperlukan untuk memastikan pelaksanaan pedoman masjid ramah anak dapat berjalan efektif.
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kesadaran komunitas melalui sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya masjid ramah anak. Pelibatan perguruan tinggi menjadi penting, terutama di dalam menggerakkan mahasiswa di dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) berbasis Pos Daya.
Selain itu, dukungan dari pemerintah daerah yang bekerja sama dengan penyuluh KUA, dapat mengupayakan pembinaan berkelanjutan sebagai solusi konkret untuk menciptakan lingkungan masjid yang inklusif dan ramah bagi anak-anak.
Pendekatan yang terpadu ini, diharapkan menciptakan masjid yang tidak hanya ruang ibadah, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran, interaksi sosial, dan pengembangan karakter anak-anak.
Kedua, memperkuat komitmen yang sejalan dengan panduan yang dikeluarkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI). Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan pemangku kepentingan masjid, termasuk pengurus, tim pelaksana, dan jemaah, memiliki komitmen bersama untuk menciptakan masjid yang inklusif dan ramah anak.
Page 2
Salah satu langkah utama ditunjukkan dengan menetapkan komitmen tertulis dalam bentuk antikekerasan terhadap anak, seperti ikrar bersama. Selain itu, kebijakan ini mencakup larangan tegas terhadap kekerasan verbal maupun fisik, yang acapkali menjadi alasan anak-anak merasa tidak nyaman di masjid.
Selain itu, pemerintah daerah dapat mendukung pedoman ini, salah satunya dengan menerbitkan peraturan daerah (perda) yang berisi tentang aturan yang mewajibkan masjid untuk mengadopsi kebijakan ramah anak.
Regulasi ini dapat mencakup panduan implementasi, serta pengawasan berkelanjutan. Dengan adanya kebijakan dan aturan yang jelas, masjid dapat menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung tumbuh kembang anak.
Walhasil, masjid ramah anak merupakan kebutuhan yang mendesak yang segera diwujudkan. Strategi utamanya meliputi kolaborasi multi-stakeholder, seperti pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan NGO di dalam mendukung beberapa program, di antaranya sosialisasi, edukasi, dan pembinaan berkelanjutan.
Dengan pendekatan yang terstruktur dan komprehensif, masjid dapat menjadi ruang ibadah, pembelajaran, interaksi sosial, dan pengembangan karakter anak-anak.
Program ini menunjukkan cerminan komitmen umat Islam terhadap pendidikan dan kesejahteraan generasi mendatang. Ketika masjid menjadi tempat yang inklusif, nyaman, dan aman bagi anak-anak, maka kecintaan terhadap agama dan masjid dapat tertanam sejak dini.
Upaya ini membutuhkan sinergi, bukan hanya di antara pengurus masjid, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, demi menciptakan generasi yang kuat dalam nilai-nilai keislaman dan sosial. (*)
Page 3
KETIKA membahas tentang persoalan masjid, arah pembicaraan kita langsung tertuju kepada pengurus takmir. Memang hal itu wajar, dan tidak bisa disangkal. Mengingat pengurus takmir memiliki tanggung jawab besar di dalam mengelola masjid.
Mulai dari penggalangan dana sampai menyusun program pemakmuran tempat ibadah kaum muslimin, peran mereka sangat vital, terutama menjaga fungsi masjid sebagai pusat ibadah dan aktivitas jemaah.
Namun, tanggung jawab pengurus takmir, tidak hanya sebatas rutinitas administratif, seperti, mempersiapkan salat lima waktu atau pun mengatur peringatan hari besar Islam (PHBI).
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah mengakomodasi kebutuhan seluruh jemaah, termasuk anak-anak. Ironisnya, anak-anak sering dianggap mengganggu kekhusyukan ibadah, sehingga keberadaan mereka kerap dipandang sebelah mata.
Masalah yang Dihadapi
Faktanya, masih banyak ditemukan masjid yang kurang ramah terhadap anak. Mulai dari teguran keras, larangan bermain, atau sikap dari sebagian jemaah membuat anak merasa tidak nyaman. Akibatnya, dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap masjid dalam diri anak-anak.
Di sisi lain, secara sosiologis anak-anak perlu dikenalkan pada masjid sejak dini untuk menanamkan kecintaan terhadap agama. Sebagai contoh, masjid yang menyediakan ruang khusus untuk anak-anak atau mengadakan kegiatan kreatif seperti kelas Al-Qur’an dan area bermain edukatif akan lebih menarik bagi mereka.
Masalah ini menuntut pengurus takmir untuk berinovasi menciptakan masjid yang lebih inklusif. Dengan begitu, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga ruang yang mendidik dan menyenangkan bagi anak.
Strategi Mewujudkan Masjid Ramah Anak
Dari persoalan di atas, gagasan tentang masjid ramah anak sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai pedoman telah disusun oleh sejumlah pemangku kepentingan, termasuk pedoman yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, aturan dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, serta pedoman dari Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Pedoman tersebut, menunjukkan langkah-langkah strategis untuk menciptakan masjid yang mendukung anak-anak, baik dari segi fasilitas maupun edukasi. Persoalannya kemudian, terletak pada bagaimana mendukung implementasi pedoman tersebut secara nyata, di level komunitas maupun praktis.
Untuk menjawab persoalan di atas, saya mencatatnya yang pertama, kolaborasi antara pengurus masjid, pemerintah daerah, perguruan tinggi, atau pun lembaga NGO, diperlukan untuk memastikan pelaksanaan pedoman masjid ramah anak dapat berjalan efektif.
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kesadaran komunitas melalui sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya masjid ramah anak. Pelibatan perguruan tinggi menjadi penting, terutama di dalam menggerakkan mahasiswa di dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) berbasis Pos Daya.
Selain itu, dukungan dari pemerintah daerah yang bekerja sama dengan penyuluh KUA, dapat mengupayakan pembinaan berkelanjutan sebagai solusi konkret untuk menciptakan lingkungan masjid yang inklusif dan ramah bagi anak-anak.
Pendekatan yang terpadu ini, diharapkan menciptakan masjid yang tidak hanya ruang ibadah, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran, interaksi sosial, dan pengembangan karakter anak-anak.
Kedua, memperkuat komitmen yang sejalan dengan panduan yang dikeluarkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI). Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan pemangku kepentingan masjid, termasuk pengurus, tim pelaksana, dan jemaah, memiliki komitmen bersama untuk menciptakan masjid yang inklusif dan ramah anak.