Bukan hanya Elysian Ski Resort, Kota Chuncheon di Provinsi Gangwon juga punya destinasi paling romantis di dunia. Apa itu?
SAMSUDIN ADLAWI, Gangwon, Korea Selatan.
INGINNYA berlama-lama di puncak Gunung Elysian. Membiarkan tubuh diterpa lembaran-lembaran kecil salju, membuat bola salju, dan melihat ratusan orang bermain ski. Tapi, waktu tak bisa diajak kompromi. Saya bersama istri dan anak harus bergegas menuju ke Nami Island.
Butuh waktu satu jam lebih untuk sampai ke pulau terindah nan romantis itu. Waktu tak bisa dikompromi. Kami harus bergegas. Bergerak cepat. Mengejar kesempatan. ”Kunjungan wisata di Pulau Nami ditutup pada pukul 21.00,” kata Yoon Jong-won, pemuda Korsel yang mendampingi kami.
Benar saja. Akhirnya kami sampai tiga jam sebelum Pulau Nami ditutup. Sudah begitu masih harus antre. Menunggu kapal datang. Beruntung menunggunya di dalam ruangan dermaga. Sehingga, tubuh tak dicabik-cabik suhu minus 5 derajat (-5) di luar.

MERANGGAS: Meski daun pepohonannya rontok, Pulau Nami tak kehilangan keindahannya (SAMSUDIN ADLAWI)
Ya, sekadar tahu. Pulau Nami terletak di tengah Sungai Bukhangang. Ada juga yang menyebut Danau Bukhangang. Tak masalah. Faktanya, Pulau Nami memang dikelilingi air. Karenanya, wisatawan harus naik kapal. Untuk menyeberang ke Pulau Nami, hanya membutuhkan waktu lebih kurang 15 menitan.
Kapal atau feri yang tersedia selalu datang tepat waktu. Begitu satu kapal berangkat, tak lama kemudian kapal satunya sudah siap-siap merapat ke dermaga. Kapalnya sama persis dengan feri yang melayani penyeberangan di Pelabuhan PT ASPD Ketapang dan Gilimanuk. Bedanya hanya pada layout ruangan dalam kapal.
Kapal yang melayani penyeberangan ke Pulau Nami didesain untuk hanya melayani manusia. Tidak untuk kendaraan. Maka, di semua dinding kapal dipasang kursi panjang. Pun beberapa di tengah. Untuk duduk penumpang yang kelelahan. Atau penumpang yang sepuh. Tak kuat berdiri lama.
Sumber: Jawa Pos Radar Banyuwangi
Page 2
Sementara penumpang muda dan atau yang masih kuat berdiri dalam waktu lebih dari 15 menit, memilih berdiri. Meriung di tengah badan kapal. Itu bukan riungan kecil. Tapi sangat besar. Sebab, sekali angkut, kapalnya selalu penuh. Sekitar 500-an orang masuk ke dalam perutnya.
Meski berjarak 54 kilometer atau 1,5 jam perjalanan dari Ibu Kota Seoul, tak mengurangi hasrat wisatawan berkunjung ke Pulau Nami. Mengelilingi pulau seluas 400.000 meter persegi itu. Dalam catatan sejarahnya, destinasi Pulau Nami dibangun pada 1960-an. Tepatnya, setelah dibeli oleh mantan gubernur Bank Korea Minn Byeong-do. Setelah itu, dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan signifikan.
Puncaknya terjadi pada 2002. Pada tahun itu, Pulau Nami dijadikan lokasi syuting drama hits Winter Sonata (WS). Drama yang tayang pada 2002 digemari oleh orang di seluruh dunia. Termasuk Indonesia. Popularitas drama WS juga tercatat sebagai trigger awal Hallyu. Alias gelombang budaya Korea. Terjadi Korean Wave di seluruh penjuru dunia.
Begitu menginjakkan kaki di Pulau Nami, dingin yang membekap tubuh langsung sirna. Diiringi rintik gerimis salju, kami terus melangkah. Wow. Meski pohon-pohonnya sedang meranggas, keindahan alamnya masih kuat terasa. Apalagi, ketika gumpalan salju jatuh dari dahan dan ranting yang ditempelinya.
Aura romantisme begitu terasa. Menyembul di sepanjang jalan setapak, ketika kaki ini berjalan membelah jajaran pohon metasequoia lane yang berdiri rapi dan teratur. Saya langsung membayangkan, betapa indahnya pohon-pohon itu saat musim semi. Pasti daunnya hijau dan rimbun menawan. Tapi sayang, pohon metasequoia lane dan tree lane-nya sedang meranggas. Daunnya berganti salju yang bergelantungan.
Salju yang tebal membuat sejumlah spot menawan di Pulau Nami ”lenyap”. Terkubur timbunan salju. Termasuk patung sejoli ”Winter Sonata” Bae Yong-joon dan Choi Ji-woo. Saya berusaha mencarinya. Tapi, nihil. Yang terpampang di depan mata hanya tumpukan salju dan salju.
Bukan hanya patung sejoli ”Winter Sonata”, patung-patung lainnya yang menggambarkan adegan ikonik serial WS juga tak tampak. Seperti patung adegan kencan di bawah pohon maple hingga momen romantis di pinggir danau. Sekali lagi, semua terkubur oleh salju.
Tak apalah. Mungkin belum berjodoh. Atau, pengalaman itu menjadi semacam ”undangan” untuk datang lagi ke Pulau Nami. Tapi tidak di musim winter. Melainkan saat musim semi. Ketika semua ranting pohon di Pulau Nami dirimbuni daun. Pun rerumputannya. Termasuk Garden of Morning Calm. Taman bunga aneka rupa nama yang mekar tak kenal masa.
Tak terasa jam hampir menunjukkan pukul 21.00. Sambil menahan gigil, kami bertiga bergegas menuju ke dermaga. Sesekali mampir ke perapian yang disediakan oleh pengelola Pulau Nami. Menghangatkan tangan dan dada. Sambil terus melangkahkan kaki, pikiran melayang ke destinasi de Djawatan Forest di Banyuwangi.
Djawatan yang mengandalkan keelokan hutan trembesi raksasa bisa jadi akan menyamai Pulau Nami di Korsel. Dengan catatan, dipermak di beberapa bagiannya. Misal, jalan setapaknya ditata ulang yang lebih menarik. Lalu semak-semak di sekitar pohon besarnya dirawat lebih baik lagi. Pengelola tidak bisa lagi beralasan, ”Biarkan saja, agar tampak alami”. Di mana-mana, setahu saya, yang namanya destinasi kelas dunia selalu ada sentuhan artistiknya.
Catatan berikutnya, wa ba’du, de Djawatan bisa langsung mendunia dengan cepat, asalkan ada syuting film terkenal di sana. Tapi harus film yang bermutu. Entah film dalam negeri atau bahkan film luar negeri. Seperti halnya drama Winter Sonata yang beberapa take adegannya dilakukan di Pulau Nami. Mungkinkah? (Bersambung)
Sumber: Jawa Pos Radar Banyuwangi
Page 3
Bukan hanya Elysian Ski Resort, Kota Chuncheon di Provinsi Gangwon juga punya destinasi paling romantis di dunia. Apa itu?
SAMSUDIN ADLAWI, Gangwon, Korea Selatan.
INGINNYA berlama-lama di puncak Gunung Elysian. Membiarkan tubuh diterpa lembaran-lembaran kecil salju, membuat bola salju, dan melihat ratusan orang bermain ski. Tapi, waktu tak bisa diajak kompromi. Saya bersama istri dan anak harus bergegas menuju ke Nami Island.
Butuh waktu satu jam lebih untuk sampai ke pulau terindah nan romantis itu. Waktu tak bisa dikompromi. Kami harus bergegas. Bergerak cepat. Mengejar kesempatan. ”Kunjungan wisata di Pulau Nami ditutup pada pukul 21.00,” kata Yoon Jong-won, pemuda Korsel yang mendampingi kami.
Benar saja. Akhirnya kami sampai tiga jam sebelum Pulau Nami ditutup. Sudah begitu masih harus antre. Menunggu kapal datang. Beruntung menunggunya di dalam ruangan dermaga. Sehingga, tubuh tak dicabik-cabik suhu minus 5 derajat (-5) di luar.

MERANGGAS: Meski daun pepohonannya rontok, Pulau Nami tak kehilangan keindahannya (SAMSUDIN ADLAWI)
Ya, sekadar tahu. Pulau Nami terletak di tengah Sungai Bukhangang. Ada juga yang menyebut Danau Bukhangang. Tak masalah. Faktanya, Pulau Nami memang dikelilingi air. Karenanya, wisatawan harus naik kapal. Untuk menyeberang ke Pulau Nami, hanya membutuhkan waktu lebih kurang 15 menitan.
Kapal atau feri yang tersedia selalu datang tepat waktu. Begitu satu kapal berangkat, tak lama kemudian kapal satunya sudah siap-siap merapat ke dermaga. Kapalnya sama persis dengan feri yang melayani penyeberangan di Pelabuhan PT ASPD Ketapang dan Gilimanuk. Bedanya hanya pada layout ruangan dalam kapal.
Kapal yang melayani penyeberangan ke Pulau Nami didesain untuk hanya melayani manusia. Tidak untuk kendaraan. Maka, di semua dinding kapal dipasang kursi panjang. Pun beberapa di tengah. Untuk duduk penumpang yang kelelahan. Atau penumpang yang sepuh. Tak kuat berdiri lama.
Sumber: Jawa Pos Radar Banyuwangi