TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) ke-253 dirayakan dengan penuh keberagaman dan berlangsung semarak di Taman Blambangan, Rabu (18/12/2024).
Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, mengenakan busana adat Tionghoa, Cheongsam Sangjit, sedangkan sang Wakil Bupati, Sugirah, mengenakan busana adat Jawa. Namun, dibalik penampilannya tersebut, terdapat makna yang lebih dalam yang ingin disampaikan.
“Saya hari ini menggunakan baju etnis Tionghoa, ini adalah simbol dari semangat kebersamaan dan salah satu cara untuk merangkul teman-teman minoritas,” kata Ipuk, Rabu (18/12/2024).
Mengutip dari mybooclothing.com, busana Cheongsam Sangjit sendiri identik dengan warna merah memiliki makna sebuah warna alami yang menyerupai api. Hal ini ditujukan sebagai simbol dan kemakmuran serta kebahagiaan bagi hidup mereka secara turun-temurun.
Selain warna merah yang menandakan kesuburan, keberuntungan, kegembiraan, dan kebahagiaan, ada juga warna kuning yang menandakan kekuatan, otoritas, dan kemakmuran, serta warna putih yang menandakan kemurnian dan kepolosan.
Terdapat motif bunga peony yang melambangkan kekayaan dan kesejahteraan pada busana yang dipakai Ipuk. Tak hanya itu, juga terdapat motif bunga krisan yang melambangkan umur panjang.
“Busana adat yang saya pakai bukan hanya untuk menampilkan keindahan, tetapi juga sebagai simbol dari semangat kerja sama yang diperlukan untuk memajukan Banyuwangi,” ucap orang nomor satu di Bumi Blambangan itu.
Sedangkan, Pakde Sugirah sapaan akrab Sugirah, tampak serasi dengan sang pendamping hidup yang kompak mengenakan busana pengantin busana adat Jawa.
Wakil Bupati Banyuwangi, Sugirah, beserta sang istri tampak kompak mengenakan busana adat (Foto: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)
Pakde Sugirah membeberkan alasannya mengenakan busana adat Jawa dalam peringatan Harjaba ke-253 Kabupaten Banyuwangi. Menurutnya, pilihannya tersebut adalah bentuk penghormatan terhadap pesan leluhurnya.
“Pesan orang tua dulu, wong Jowo ojo ilang Jowone (orang jawa jangan hilang jawanya) yang bermakna orang jawa diharapkan untuk tidak kehilangan jati diri dan tidak lupa dengan budayanya sendiri,” katanya.
Tidak hanya itu, lanjut Pakde Sugirah, filosofi dibalik kompaknya mengenakan busana pengantin adalah untuk mengingatkan kita bahwa walaupun kita sudah lanjut usia, kita harus tetap setia seperti pengantin anyar.
Dalam momen istimewa ini, selain Ipuk dan Pakde Sugirah, para peserta upacara lainnya tampil memukau dengan balutan baju adat dari berbagai suku dan etnis yang hidup di Bumi Blambangan.
Tidak hanya mengenakan baju adat Suku Osing yang berasal dari Banyuwangi sendiri. Tapi, juga juga ada yang mengenakan baju adat Bali, Madura, Jawa, Bugis, Melayu hingga etnis Arab dan Tionghoa. (*)
Pewarta | : Muhamad Ikromil Aufa (MG) |
Editor | : Imadudin Muhammad |