Rabu, 12 November 2025 – 10:14
TIMES BANYUWANGI, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sekretaris Utama Badan Amil Zakat Nasional (Sestama Baznas) Republik Indonesia, Subhan Cholid (SC), sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023–2024.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi pemeriksaan tersebut dilakukan pada Rabu (12/11/2025) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
“Untuk perkara kuota haji, hari ini penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi saudara SC,” ujar Budi kepada para jurnalis.
Budi menambahkan bahwa Subhan Cholid diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama. Berdasarkan catatan KPK, Subhan tiba di Gedung KPK sekitar pukul 08.39 WIB.
KPK resmi memulai penyidikan perkara dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada 9 Agustus 2025, setelah dua hari sebelumnya memeriksa mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam tahap penyelidikan.
Usai pemeriksaan tersebut, KPK menyatakan telah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung potensi kerugian negara. Hasil perhitungan awal BPK yang diumumkan pada 11 Agustus 2025 menunjukkan adanya indikasi kerugian negara lebih dari Rp1 triliun.
KPK juga mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, termasuk mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas, guna mempermudah proses penyidikan.
Perkembangan terbaru pada 18 September 2025 mengungkap bahwa KPK menduga sekitar 13 asosiasi dan 400 biro perjalanan haji ikut terlibat dalam praktik korupsi tersebut. Modus yang disorot antara lain dugaan penyelewengan alokasi kuota tambahan yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi.
Selain KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga menyatakan telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji 2024, khususnya terkait pembagian kuota tambahan sebanyak 20.000 jemaah.
Pansus mencatat bahwa Kemenag membagi kuota tambahan menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus, yang dinilai tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Berdasarkan aturan tersebut, kuota haji khusus seharusnya hanya 8 persen, sementara 92 persen dialokasikan untuk haji reguler. (*)
| Pewarta | : Antara |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |






