Ra Hudri menuturkan, bicara tentang Aswaja sebenarnya bukan hanya persoalan fiqih melainkan tauhid dan tasawuf. “Selain itu, lahirnya Aswaja sebagai sebuah paham atau aliran tidak berdiri sendiri, tapi ada latar belakang politik yang mendahuluinya,” katanya. Kiai asal Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, itu juga menjelaskan, belakangan ini banyak kelompok Islam tertentu yang mengklaim dirinya paling benar di antara kelompok yang lain. Hal itu sering kali membuat hubungan antar umat Islam kurang harmonis.
“Mestinya tidak perlu mengklaim paling benar, karena kebenaran mutlak hanya milik Tuhan,” tandas Ra Hudri dalam acara yang dimoderatori Abdul Azis, kepala biro Radar Genteng Jawa Pos Radar Banyuwangi itu kemarin. Sementara itu, Gus Maki—sapaan akrab Ali Maki Zaini—menambahkan bahwa memahami Aswaja harus dilakukan secara menyeluruh, baik tauhid, fi qih maupun tasawuf-nya. Kalaupun banyak warga NU yang lebih tertarik mempelajari fiqih Aswaja, terutama Imam Syafi ’i, hal itu karena pembawa ajaran Islam di Indonesia pada zamannya dulu banyak yang bermazhab Syafi ’i. (radar)