Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Tradisi Tiban Minta Hujan Digelar di Banyuwangi Setelah 15 Tahun Vakum

Detik.com



Banyuwangi

Arena tanding berdiri kokoh di tengah lapangan Desa Taman Agung, Kecamatan Cluring, Banyuwangi. Dua pria berpakaian hitam berjaga di atas arena berukuran 3×3 meter tersebut.

Seorang pria dengan perawakan gempal menaiki anak tangga satu per satu, ia pun melepas penutup tubuh bagian atas serta berkeliling arena dengan lagak menantang. Seketika seorang lelaki berdiri di antara kerumunan penonton dan menyambut tantangan tersebut dengan menaiki arena pertarungan.

Keduanya sudah bertelanjang dada dan menghunus cambuk diiringi alunan musik tradisional. Mereka lalu bergerak konstan mengelilingi arena dengan berlenggak-lenggok mengikuti alunan musik dan siap menyabetkan cambuk ke tubuh lawan.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setiap orang memiliki kesempatan mencambuk sebanyak tiga kali hingga mengenai dan melukai tubuh lawan, jika melanggar aturan cambukan bisa dikurangi. Aturannya, dilarang mencambuk bagian kepala dan bawah perut, sementara lawan yang menjadi sasaran cambuk diperkenankan menghindar dengan menangkis atau menjegal serangan.

Sementara itu, di sudut lapangan tampak seorang pria dengan luka menganga sisa cambukan tampak jelas di lengan kanannya. Ia adalah Ceho, pemuda Taman Agung yang disebut sebagai senior petarung Tiban. Ceho mengaku tidak absen sejak pertama kali Tiban kembali digelar pada Jumat (29/90 ) lalu. Baginya Tiban adalah tradisi yang selalu ia tunggu selama 15 tahun terakhir.

“Tiban itu artinya tiba-tiba ketiban (kejatuhan) gitu loh mbak, jadi harapan itu tiba-tiba kejatuhan hujan. Saya sejak Jumat lalu ikut terus, luka ini sudah tidak terasa karena kalau sudah di arena dan mendengar musik itu, sudah lupa sakit. Adanya adrenalin,” tutur Ceho.

Bagi petarung, yang perlu disiapkan hanya fisik yang prima dan mental sekuat baja. Karena yang dihadapi adalah cambukan yang dengan sengaja diarahkan pada tubuh tanpa pelindung, selain itu cambuk juga dibuat khusus jadi ilmu kekebalan tidak akan mempan.

“Kalau di atas itu mbak, yang penting fisik dan mental. Cambuk itu kan dibuat dari batangan lidi daun aren dan dililit sama bilah bambu apus. Itu sengaja dibuat begitu jadi ilmu-ilmu itu entah ilmu kebal atau apa itu gak mempan,” tambahnya.

Bahan khusus untuk cambuk itu sengaja dibuat agar pertarungan berjalan fair serta tidak mengurangi nilai esensi dari tujuan tradisi meminta hujan tersebut.

Rencananya Tiban akan digelar hingga 17 Oktober mendatang, sejumlah tamu undangan dari luar kota seperti kabupaten Blitar, Jember, Kediri, Madiun juga sudah mengkonfirmasi akan turut memeriahkan tradisi tersebut.

Ketua Panitia Tradisi Tiban Taman Agung David Gia Ade mengungkapkan tradisi Tiban tersebut 15 tahun tidak digelar. Tahun ini sengaja digelar setelah ada keluhan dari petani dimana kemarau panjang mengancam lahan persawahan yang nyaris kekeringan.

“Ini adalah tradisi yang sudah 15 tahun tidak digelar, ada perbincangan dengan warga tentang bagaimana tradisi ini digelar kembali karena kemarau sekarang sangat panjang dan sawah itu nyaris kekeringan dan irigasi mulai mengecil debitnya,” terang David kapada detikJatim, Selasa (3/10/2023).

David memastikan pertarungan di arena berjalan lancar dan setiap gerak petarung selalu konstan. Ia pun menyampaikan tradisi itu seakan menjadi obat kerinduan bagi pemuda Desa Taman Agung.

“Intinya ini tradisi jangan sampai hilang, bukan hanya di desa Taman Agung, tradisi ini juga pernah dilakukan di desa lain di Banyuwangi kalau memang diperlukan untuk digelar. Untuk generasi muda ini juga supaya jangan sampai tradisi ini hilang. Dengan ini juga bisa menambah guyub dan rukun,” jelas David.

“Uniknya juga ini bukan cuma diikuti oleh warga Banyuwangi, ada yang dari Blitar, Jember juga ada,” imbuhnya.

Simak Video “Menikmati Pesona Keindahan Pantai Trianggulasi yang Eksotik, Banyuwangi
[Gambas:Video 20detik]
(abq/iwd)

source