Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Gus Dur dan Progresifitas NU – TIMES Banyuwangi

gus-dur-dan-progresifitas-nu-–-times-banyuwangi
Gus Dur dan Progresifitas NU – TIMES Banyuwangi

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Di tengah dunia yang kian bising oleh konflik identitas, politik kekuasaan, dan krisis kemanusiaan global, nama Gus Dur kembali terasa relevan untuk direnungkan bukan hanya sebagai presiden ke-4 RI, melainkan sebagai simbol cara berpikir Islam yang progresif, inklusif, dan membebaskan. 

Di tangan Gus Dur, Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya berfungsi sebagai organisasi keagamaan, tetapi sebagai kekuatan moral yang berdiri di garis depan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralitas.

Hari ini, ketika NU memasuki abad kedua sejarahnya, pertanyaannya bukan sekadar apakah NU masih besar secara jumlah melainkan apakah NU masih progresif secara makna. Apakah semangat pembebasan yang diwariskan Gus Dur masih hidup dalam dinamika kebangsaan hari ini, atau justru mengalami kelelahan di tengah tarik-menarik kekuasaan dan polarisasi identitas?

Islam, Demokrasi, dan Pembebasan

Progresifitas Gus Dur lahir dari keberaniannya membaca Islam tidak hanya dari teks, tetapi dari realitas manusia. Bagi Gus Dur, Islam bukan sekadar sistem hukum, melainkan etika kehidupan. 

Keislaman harus hadir untuk membela yang lemah, melindungi minoritas, dan merawat perbedaan. Di sinilah letak radikalitas Gus Dur: ia menempatkan kemanusiaan sebagai pintu utama keberagamaan.

Dalam praktik politik, progresifitas itu tampak dari konsistensinya membela kelompok-kelompok terpinggirkan etnis Tionghoa, minoritas agama, komunitas adat bahkan ketika langkah itu berisiko secara politik. 

Keberanian ini menunjukkan bahwa bagi Gus Dur, kekuasaan bukan tujuan, melainkan instrumen pengabdian. Politik tidak boleh menjauh dari nilai, dan agama tidak boleh diperalat oleh kekuasaan.

Secara filosofis, pendekatan Gus Dur sangat beririsan dengan gagasan Hannah Arendt bahwa politik sebagai ruang tindakan etis untuk memperjuangkan kebebasan manusia. Politik bukan semata-mata soal merebut kursi, melainkan bagaimana kekuasaan dipertanggungjawabkan secara moral kepada publik. Inilah yang menjadikan Gus Dur tetap dikenang bukan karena lamanya berkuasa tetapi karena keberaniannya menjaga martabat manusia.

NU tumbuh sebagai organisasi tradisional, tetapi memiliki watak progresif yang unik tradisional dalam metode, progresif dalam orientasi sosial. Tradisi pesantren tidak menjadikan NU kaku, justru lentur dalam berhadapan dengan perubahan zaman. Inilah yang memungkinkan NU bertahan lintas generasi tanpa kehilangan akar sosialnya.

Dalam sejarahnya, NU adalah kekuatan penopang republik. Dari Resolusi Jihad 1945 hingga peran strategis dalam reformasi 1998, NU selalu hadir di titik-titik krisis bangsa. Progresifitas NU bukan berarti liberal tanpa batas, tetapi keberanian untuk bergerak ketika kemanusiaan dan demokrasi terancam.

Namun di era digital dan politik pasca-kebenaran hari ini, tantangan yang dihadapi NU jauh lebih kompleks: polarisasi identitas, disinformasi agama, politisasi simbol keagamaan, hingga fragmentasi otoritas ulama ujian serius bagi watak progresif NU.

Realitas terbaru menunjukkan bahwa toleransi dan kebersamaan masyarakat kita tengah diuji. Menurut laporan pada 2025: Pertama, Penyebab kekhawatiran: survei oleh sebuah lembaga menunjukkan bahwa 42,5% generasi muda masih memegang pandangan intoleran terhadap keyakinan lain.

Kedua, Sementara itu, data dari 2024-2025 menunjukkan peningkatan kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan: dalam 2024, tercatat 260 insiden dan 402 tindakan pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), meningkat dibanding 2023.

Ketiga, Negara menghadapi tantangan serius: diskriminasi dan kekerasan berbasis agama baik dari aktor negara maupun masyarakat umum tetap marak, termasuk pelaporan dan penetapan tersangka dalam kasus penghinaan agama (blasphemy) (Asia Pacific Solidarity). 

Keempat, Di ruang publik dan media sosial, penelitian akademik terbaru menyebut bahwa isu agama tetap menjadi pemicu utama polarisasi digital kelompok pengguna media sosial seringkali terpecah berdasarkan keyakinan, identitas, dan affiliasi politik.

Data terbaru dari media menunjukkan bahwa intoleransi di Indonesia nyatanya terus meningkat. Misalnya, aktivis di Indonesia Timur mengecam kenaikan kasus intoleransi dan menyerukan agar kaum intoleran ‘belajar toleransi’ dari komunitas plural di wilayah mereka.

Sementara itu, lembaga pemantau internasional menilai bahwa nilai-nilai Pancasila khususnya Sila Kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab sering dikalahkan oleh praktek intoleransi yang nyata di masyarakat.

Data-data ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya menjaga toleransi misalnya indeks kerukunan umat beragama sedikit meningkat tantangan mendasar tetap ada: ketidakpahaman pluralitas, kelemahan literasi keagamaan, dan mudahnya agama dijadikan alat politik.

Dalam situasi seperti ini, idealisme progresif seperti yang dibawa Gus Dur dan semestinya diwariskan NU menjadi sangat relevan. Tapi juga sangat berisiko dikerdilkan jika NU sendiri tidak berbenah internal.

Progresifitas di Era Global & Lokal

Di era global hari ini, progresifitas tidak cukup berhenti pada isu nasional. Dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan yang saling terhubung: perang, pengungsi, ekstremisme agama, krisis iklim semuanya memerlukan suara moral, solidaritas lintas agama dan bangsa. Dalam konteks ini, NU dituntut untuk tampil tidak hanya sebagai penjaga moderasi di dalam negeri, tetapi juga sebagai aktor perdamaian global.

Gagasan Islam sebagai kekuatan kemanusiaan universal sebenarnya sangat sejalan dengan visi Gus Dur: bagi beliau, batas-batas identitas tidak boleh menghalangi solidaritas kemanusiaan. Islam yang besar adalah Islam yang mampu melampaui sekat-sekat primordial menuju etika global.

Namun seperti diingatkan oleh teoretikus hegemoni Antonio Gramsci, “the old is dying and the new cannot be born; in this interregnum a great variety of morbid symptoms appear”. Dalam kacamata Antonio Gramsci, ide besar berjalan, tetapi basis persetujuan internal belum solid. 

Setiap gagasan besar membutuhkan konsensus sosial agar bisa menjadi kekuatan historis. Tanpa konsolidasi internal yang kuat, progresifitas berisiko menjadi slogan elitis kehilangan daya ubah di akar rumput dan masyarakat luas.

Tantangan terbesar progresifitas NU hari ini adalah menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan akar tradisi. NU tidak boleh kehilangan jati dirinya keilmuan pesantren, prinsip moderasi, dan adab ulama demi terlihat modern. Namun juga tidak boleh takut berubah, demi mempertahankan relevansi di tengah zaman.

Dalam konteks ini, penting mengingat kembali satu pelajaran penting dari Gus Dur: progresif tidak berarti menabrak tradisi, tetapi menafsirkan tradisi agar tetap relevan bagi manusia. Tradisi bukan museum, tetapi sumber energi untuk menghadapi masa depan.

Progresifitas NU juga harus menjadi progresifitas yang membela rakyat kecil. Ketika kesenjangan ekonomi melebar, akses pendidikan tidak merata, dan potensi intoleransi terus mengintai, NU harus hadir sebagai kekuatan advokasi sosial bukan sekadar penonton moral. Di sinilah watak kerakyatan NU diuji secara nyata.

Menjaga Api Gus Dur Tetap Menyala

Gus Dur telah tiada, tetapi api pemikirannya tidak boleh padam. Progresifitas bukan warisan statis, melainkan tugas sejarah yang harus terus diperbarui oleh setiap generasi. Generasi muda NU hari ini tidak cukup hanya mengagumi Gus Dur sebagai ikon, tetapi harus berani melanjutkan semangat kritisnya berani berbeda, berani membela yang lemah, dan berani jujur pada nurani.

Dalam situasi kebangsaan yang penuh ketegangan seperti hari ini, NU seharusnya tampil sebagai juru damai bukan bagian dari polarisasi. Menjadi penjernih, bukan pengeruh. Menjadi jembatan, bukan tembok.

Progresifitas NU yang diwariskan Gus Dur bukanlah proyek masa lalu tetapi agenda masa depan. Di tengah krisis global, polarisasi identitas, dan kerapuhan etika politik, bangsa ini masih sangat membutuhkan NU sebagai kekuatan moral yang menyejukkan, membebaskan, dan mempersatukan.

NU akan tetap besar secara sejarah. Tetapi apakah NU akan tetap besar secara makna itu sangat ditentukan oleh keberanian warganya, terutama para pemimpinnya untuk setia pada nilai, bukan sekadar pada kekuasaan.

Jika NU berhasil menjaga api progresifitas Gus Dur tetap menyala, maka NU bukan hanya akan bertahan sebagai organisasi tetapi akan terus hidup sebagai gerakan kemanusiaan yang dibutuhkan oleh Indonesia dan dunia.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H. Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Universitas KH. Mukhtar Syafaat, Blokagung-Banyuwangi dan Pegiat Literasi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman